Pengungsi Timor Timur : Selesai Atau Tidak?

05 Maret 2011|Taka Gani

“Warga lama ada tanah tapi kita warga baru tidak ada tanah.  Kita namanya sudah warga baru, warga negara Republik Indonesia, orang Indonesia.  Tapi terpaksa kita ambil kesimpulan bahwa kita mau kembali karena keadaan begini. Tanah ini Pemerintah Pusat sudah hibah ke Pemerintah Provinsi, harus kasih ke warga baru eks pengungsi Timor Timur tapi statusnya tidak jelas. Pernah kita ke provinsi tapi dibuang ke sini, dibuang ke sana.  Jangan sampai suatu saat nanti kita digusur. Kalau kita digusur nanti kita dikemanakan lagi?”.

 Begitu Pak Agus, salah satu “warga baru/eks pengungsi Timor Timur” di lokasi settlement Panti Sosial di Naibonat, Kupang, Timor Barat menceritakan alasannya ingin kembali pulang ke Timor Leste.

 Dia tidak sendirian. Selama kunjungan JRS Indonesia ke lokasi kamp pengungsi yang masih ada di Tuapukan, Kupang dan juga beberapa lokasi settlement di Kupang, Atambua, dan Betun, tanah adalah hal yang kerap muncul dalam pembicaraan. Lahan bertani menjadi perhatian utama karena masyarakat Timor Timur yang mengungsi ke Indonesia pada 1999 sebagian besar adalah petani. Kesulitan mendapatkan lahan bertani semakin meningkat beberapa tahun belakangan.

 Warga lokal yang dulu mau menyewakan tanahnya untuk digarap para pengungsi Timor Timur dengan sistem bagi hasil, kini mulai banyak yang tidak mau lagi menyewakan lahannya karena akan digunakan sendiri ataupun dijual.

 Berdasarkan obrolan kami dengan Nato, staf Centre for IDP Service Timor  – lembaga lokal yang mendampingi warga baru, kesulitan lahan bertani terjadi hampir di semua lokasi settlement.

 Resettlement dan transmigrasi adalah pilihan yang diberikan ketika Pemerintah Indonesia pada tahun 2002 menyatakan masalah pengungsi Timor Timur selesai.  Tetapi ternyata resettlement pun menyimpan bara tersendiri.

 Seorang warga di settlement Raknamo, Kupang menjelaskan bahwa mereka harus membeli sendiri tanah yang mereka tempati dan rumah dibangun oleh TNI.  Dia menyatakan tanah dimiliki oleh dua orang, warga lama dan “warga baru”.

 Warga baru sudah membayar uang muka tapi belum lunas karena menunggu pemberian Jadup (jaminan hidup) yang dijanjikan Pemerintah akan diberikan tahun 2002 tapi hingga kini belum diterima. Belum lunasnya tanah ini, menurut dia ke depan dapat menyebabkan konflik di antara warga lama dan warga baru.

 Lokasi settlement di Kabupaten Belu, Timor Barat sebagian besar jauh dari jalan raya dan ketersediaan air bersih pun menjadi situasi menantang bagi para warga baru  yang memilih atau bahkan terpaksa harus mengikuti program Pemerintah untuk pindah ke settlement.

 Keluhan lain adalah ketika Pemerintah menetapkan pindah ke settlement, mereka tidak diikutsertakan dalam proses.  Mereka merasa “digiring saja seperti kerbau”. Maka, lahan bertani pun tidak diperhitungkan oleh Pemerintah ketika menentukan lokasi settlement.

 Kondisi rumah yang dibangun atas kerjasama Depsos dan TNI di lokasi setllement pun cukup memprihatinkan.  Warga banyak yang merasa tidak aman untuk tinggal didalamnya dan lalu kembali lagi ke kamp.

 Tempat hunian terbuat dari bebak (lembaran yang terbuat dari susunan tangkai daun gebang kering dan lazim dipakai untuk dinding) yang sudah reyot, tapi mereka merasa lebih aman berada di sana. Setidaknya di sekitar kamp lahan untuk bertani masih lebih mudah dan air bersih tersedia.

 Tidak heran pula jika jumlah warga yang ingin kembali ke Timor Leste semakin meningkat. Pada tahun 2010 jumlah warga yang kembali ke Timor Leste sekitar 119 jiwa.

 Menurut Suster Sesilia Ketut, SSPS dari Forum Peduli Perempuan dan Anak di Atambua yang mendampingi proses pemulangan, hingga 31 Januari 2011 sudah 71 jiwa pulang ke Timor Leste.  Suster Sesilia memperkirakan tahun 2011 ini jumlah itu akan meningkat.

 Kunjungan ke Pak Cornelis di Sukabitete, Atambua menegaskan pendapat Suster Sesilia. Pak Cornelis dengan yakin mengatakan, “Bulan tujuh nanti saya akan pulang.  Kalau sekolah anak saya nomor satu selesai, saya suruh dia pulang langsung ke Timor Timur.”

 Nampaknya ada yang dilihat berbeda oleh “warga baru” eks pengungsi Timor Timur  di Timor Barat dan Pemerintah Indonesia.  Pak Jon di settlement Panti Sosial Naibonat – Kupang mengatakan, “Dikatakan status pengungsi harus selesai, tapi kita lihat realita yang ada di lapangan memang banyak masyarakat yang masih di kamp pengungsi.  Masih banyak yang belum merasakan apa  yang dikatakan resettlement.  Orang bilang Pemerintah Timor Leste dan Pemerintah Indonesia dan badan dunia menyatakan masalah pengungsi ini selesai. Itu rekayasa politik. Tolong lihat kenyataannya seperti apa.  Kalau selesai bilang selesai, kalau tidak ya bilang tidak.”

 Permintaan yang menantang, bagi semua pihak yang terkait atau peduli pada hal ini. Jawabannya hanya satu kata, “selesai” atau “tidak”, tapi memerlukan kebesaran hati untuk menjawabnya dengan jujur dan mengetahui serta siap melakukan tanggung jawab yang mengikuti jawaban tersebut.

Baca lebih lanjut





Menyertakan Semua, Membangun Masa Depan September 20, 2022
news
Rindu Syaitara Pada Ibunya Agustus 12, 2015
news