Tegangan dan Dilema

14 Februari 2023|Zainuddin

Sebuah refleksi atas proses pengambilan keputusan

 

Saya Zainuddin, biasa dipanggil Zain. Saya adalah koordinator program Case Management (CM) di Bogor untuk proyek Journey with De Facto Refugee in Indonesia. Program ini adalah perubahan dan pengembangan dari proyek tahun-tahun sebelumnya yang dikenal dengan Be-friend Project (BFP). Secara substansi sebenarnya tidak terlalu berbeda jauh dalam menjalankan peran saya sebagai koordinator baik untuk program CM maupun BFP. Sebagai koordinator tentu tugas utama saya adalah mengkoordinasikan semua anggota tim dalam menjalankan tugas masing-masing dalam mewujudkan tujuan proyek. Di dalam fungsi koordinasi tentu ada peran-peran konsultatif, supervisi, monitoring dan otorisasi pengambilan keputusan yang tidak bisa dipisahkan.

Mungkin pandangan tersebut sedikit berbeda jika dilihat dari perspektif pengungsi sebagai orang yang kita layani. Sebagian besar pengungsi sangat memahami sistem manajemen dan hierarki dalam pengambilan keputusan di sebuah organisasi/institusi. Meskipun telah dijelaskan bahwa pengambilan keputusan di JRS dilakukan secara kolektif kolegial, para pengungsi tetap melihat bahwa peran koordinator menjadi kunci dan penentu dalam mengambil keputusan. Apa yang terjadi kemudian? Banyak pengungsi yang ingin melakukan approach langsung ke saya sebagai koordinator baik ketika mengajukan request bantuan maupun setelah proses Need Assessment (NA) sebelum pengambilan keputusan. Mereka ingin meyakinkan dan mengharapkan agar saya sebagai koordinator akan memutuskan untuk menerima request mereka. 

Demikian halnya ketika sebuah keputusan telah dibuat dan ternyata tidak sesuai dengan yang mereka harapkan, maka tidak jarang para pengungsi tersebut komplain dan bahkan marah kepada saya sebagai koordinator karena dianggap telah membuat keputusan yang mengecewakan. 

Pengambilan keputusan untuk menentukan siapa yang layak dibantu terkadang terasa tidak mudah. Meskipun sudah ada hasil need assessment sebagai bahan pertimbangan, terkadang masih diperlukan proses diskresi. Hal ini menjadi bagian yang paling menantang sebagai seorang koordinator. Selalu ada tegangan dan dilema dalam mengambil keputusan. Seringkali saya merasa lega setelah mengambil keputusan dan yakin keputusan yang saya ambil sudah tepat, namun tidak jarang juga saya merasa bersalah dan ragu apakah keputusan yang saya ambil sudah tepat atau tidak. Satu hal yang menjadi penghiburan bagi saya terkait pengambilan keputusan adalah “lebih baik salah membantu orang dari pada salah karena tidak membantu orang”.

Sejujurnya saya agak tidak yakin tahun 2023 situasi kepengungsian di Indonesia akan berubah drastis ke arah yang positif. Situasinya kemungkinan akan relatif sama dengan tahun 2022 dan bahkan mungkin lebih buruk secara finansial dan kesehatan mental bagi sebagian besar pengungsi. Di awal tahun 2023 ini saja beberapa gelombang pengungsi Rohingya sudah terdampar di Aceh. Hal ini tentu akan menyita perhatian banyak pihak untuk memberikan respons atas insiden tersebut dan sedikit mengalihkan perhatian terhadap  situasi pengungsi lama yang sudah bertahun-tahun tinggal di Indonesia.

Semoga Tuhan selalu melindungi dan memberikan petunjuk kepada saya dan tim agar bisa berpikir jernih dan dapat mengambil keputusan dengan baik. Semoga semakin banyak orang-orang yang peduli untuk berbagi dan membantu pengungsi. Amiin.

 

Zainuddin

Koordinator program CM JRS Bogor 2022 – 2023