Tahun Baru, Harapan Baru

31 Januari 2023|Martinus Dam Febrianto, SJ

DUNIA terus bergulir dan waktu terus berlanjut. Tahun yang lama berlalu, tahun yang baru pun tiba. Sejenak menengok ke belakang, perjalanan yang masing-masing dari kita telah lalui, sebagai pribadi, sebagai bagian dari komunitas, sebagai bagian dari warga bangsa, sebagai bagian dari masyarakat global, barangkali tahun yang lalu telah meninggalkan kesan yang mendalam, yang terus kita bawa ketika sudah menapaki tahun yang baru, 2023 ini. Semoga, kesan itu adalah rasa syukur yang menghangatkan dan membawa sukacita. Meskipun, barangkali, ada pula yang meninggalkan rasa sakit, yang dingin dan kelam.

Kita mungkin bersyukur, setelah berupaya sekian waktu, akhirnya menyelesaikan studi atau tugas pekerjaan yang tidak mudah, dengan hasil gemilang. Kita mungkin cukup lega, bahwa pandemi Covid-19 yang dua tahun telah membelenggu, yang mungkin telah merenggut orang yang kita kasihi, akhirnya melandai sehingga kita jauh lebih leluasa bergerak, berjumpa satu dengan yang lain, kembali bangkit dan kuat. Hal kecil, kita barangkali turut takjub dan kegirangan saat menyaksikan Argentina memenangkan pertandingan final Piala Dunia di penghujung 2022. Laksana dongeng, Lionel Messi, yang disebut pesepakbola terbaik sepanjang sejarah, akhirnya bisa mengangkat trofi Jules Rimet di penghujung karirnya, setelah secara menegangkan melawan juara bertahan Prancis dalam pertandingan yang disebut sebagai laga final terbaik dalam sejarah Piala Dunia. 

Di dunia yang sama tapi tempat berbeda, alih-alih keriangan dan kegembiraan, kita mendengar pula jeritan memilukan dari para korban perang dan kekerasan lainnya. Menurut The Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR), per 9 Januari 2023, 6.952 warga sipil telah menemui ajal sepanjang hampir setahun invasi Rusia atas Ukraina. Di antara mereka itu, 431 adalah anak-anak. Sementara itu, 11.144 orang dilaporkan menderita luka-luka. Perang ini, yang masih berlanjut, telah membuat jumlah pengungsian paksa di seluruh dunia mencapai rekor baru, 100 juta orang terpaksa pindah. Juga, di tempat-tempat lain: Ethopia, Sudan, Congo, Yemen Selatan, atau Myanmar, yang mungkin sempat terlupakan, orang-orang menderita karena konflik tak berkesudahan. Kita mungkin juga sempat membayangkan dengan rasa sedih, para pengungsi Rohingya, di atas perahu, kelelahan dan terkatung-katung di lautan. Mereka ingin hidup bermartabat seperti kita, namun tidak memiliki tempat untuk itu. Dan, kita pun masih harus menyaksikan dan mendengar kabar sedih kemanusiaan yang tercabik-cabik. 

Barangkali, banyak hal terjadi tidak seturut harapan kita. Yang diharapkan berhasil ternyata gagal, yang diharapkan memberi kepuasan ternyata membawa pada kekecewaan, yang diharapkan menghibur ternyata membawa pada nestapa. Tidak semua hal berjalan sesuai rencana. Namun, hidup semestinya tetap dijalani dengan penuh harapan. Keberadaan kita, menurut G.P. Sindhunata, SJ, ditentukan oleh harapan. Sejauh belum selesai, hidup ini adalah hidup yang terbuka, maka harus mengarah ke depan, untuk mencapai kepenuhannya pada masa yang akan datang. 

Barangkali muncul juga ucapan, dari mereka yang menderita, bahwa mereka tak ingin lagi mempunyai harapan, karena harapan hanya mendatangkan kekecewaan. Namun, dalam ungkapan tak punya harapan pun sebenarnya mereka tetap melakukan upaya-upaya yang didasari pada kesadaran bahwa hidup, yang seakan telah menemui jalan buntu pun, tetap terbuka. Filsuf Albert Camus, alih-alih menamai sikap ini sebagai pengharapan, menyatakannya sebagai pilihan untuk heroik. Jadilah heroik, seperti Sisyphus, tokoh dalam mitologi Yunani yang dihukum mendorong sebuah batu batu ke puncak bukit hanya untuk menggelinding ke dasar bukit dan ia mesti mendorongnya kembali, dan begitu seterusnya.

Heroisme, menurut Camus, adalah jawaban atas hidup yang dinilai absurd, sia-sia. Namun, apakah memang hidup di dunia ini sungguh absurd? Sebenarnya, absurditas bagi Camus adalah jalan untuk menjalani hidup yang berarti, sekalipun kita menjumpai hal-hal buruk dalam hidup. Maka, secara eksistensial, hidup tetap dapat memiliki atau mesti diberi makna, dan bagi orang percaya, hidup tetap terbuka untuk hal-hal baik. Untuk itulah orang yang memilih hidup harus memiliki harapan, yang dalam tradisi Kristiani adalah keutamaan pokok yang perlu dilatihkan, bersama iman dan kasih. Barangkali, heroisme dalam iman, harapan, dan kasih, itulah yang mesti kita usahakan.

JRS Indonesia memilih untuk penuh harapan di tahun yang baru ini. Setahun lalu kita melangsungkan program-program kita sesuai rencana dalam Journey with De Facto Refugees Project. Meskipun ada kekurangan terkait pendanaan, syukur kepada Allah, kekurangan itu akhirnya teratasi. Selain pendanaan dari JMA (Jesuit Mission Australia), kita menerima dari Caritas Indonesia dana hasil fundraising yang diselenggarakan tahun sebelumnya, dan juga, secara signifikan, dari JRS USA di penghujung tahun. Kita juga telah menjalin kerja sama dengan DRC (Danish Refugee Council) untuk proyek advokasi di Aceh dan koleksi data di Medan terkait pengungsi Rohingya. Entah dengan DRC atau dengan JRS International Office, kita juga terbuka dan terus terlibat dalam respons-respons kedaruratan terhadap pengungsi Rohingya yang mendarat di Aceh. Terakhir, kita pun mulai melibati isu perpindahan karena iklim. Setelah asesmen awal di akhir November 2022, kita akan aktif bekerja sama dengan JRS Asia Pasific, ESSC (The Institute of Environmental Science for Social Change) di Manila, dan Percik (The Institute for Social Research, Democracy and Social Justice) yang berbasis di Salatiga, untuk asesmen, riset dan keterlibatan lebih lanjut di isu ini.

Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Langsa menandatangani kerja sama dan menggelar Diskusi Publik bersama dengan Yayasan JRS Indonesia, Rabu (22/2/23)

Harapan masih ada, asal kita mau membaruinya. Maka, dalam momentum tahun yang baru ini, marilah kita membarui harapan kita. Tentu saja, harapan itu lebih besar daripada segala rencana kita dan JRS Indonesia. Harapan juga lebih besar daripada optimisme. Mengutip Rabbi Jonathan Sacks, harapan adalah suatu keutamaan aktif, mengenai masa kini dan masa depan, bahwa bersama-sama, kita dapat membuat dunia ini lebih baik. Untuk itu, kita memerlukan keberanian, yakni keberanian untuk berharap dan dengan itu kita mengusahakan yang terbaik.

Team Building JRS 2023