Semangat Damai Perempuan di Wilayah Merah

09 Januari 2022|Ninuk Setya Utami

Kepala Baina dibebankan pada tumpukan dua telapak tangannya. Wajahnya muncul di atas sandaran kursi. Sengaja ia duduk pada kursi yang terbalik posisinya, menghadap ke belakang. Lirih suaranya kala ia bercerita penggalan-penggalan hidupnya pada kurun waktu 2001-2004. Masa-masa kelam saat konflik antara GAM dan TNI pecah di bumi Serambi Mekah.

”Waktu itu bulan puasa. Saya lupa kalau hari itu hari latihan. Saat lagi asyik membantu mamak untuk persiapan berbuka, saya dipanggil aparat. Baru saya ingat kalau harus latihan volley. Dia marah sama saya. Dibentak-bentaknya saya. Lalu disuruhnya ke sungai belakang desa. Saya direndam sampai berjam-jam, sampai lewat waktu berbuka.”

Pemudi Desa Simpang Dua, Kecamatan Kluet Timur, Kabupaten Aceh Selatan ini mengungkapkan, latihan volley bagi para perempuan wajib hukumnya. Pihak yang mewajibkan adalah aparat TNI.

Sekalipun dingin dan lapar, perempuan yang kala itu masih duduk di bangku SMP awalnya tidak berani melawan. ”Orang tu bawa senjata. Tidak boleh keluar dari air sampai orang itu memerintahkan kita keluar dari air. Kalau kita melawan, senjata sudah ada di kepala kita.”

Pengakuan ini serupa dengan yang diungkapkan tiga kawan Baina, yaitu Abizah, Marina, dan Bangun Hayati. Menurut perempuan-perempuan yang aktif dalam organisasi pemudi ini, kata “terlambat” sangat dilarang bagi mereka.

”Tidak ada yang boleh terlambat satu menit pun. Kalau

terlambat, tahu sendiri akibatnya. Dihukum lari lapangan sepuluh kali atau sesuka mereka, direndam seperti Baina, push up. Ada juga yang sampai ditendang,” ujar Abizah yang juga guru SD di desanya.

Baina yang aktif sebagai bendahara organisasi pemudi di desanya menambahkan, saat konflik setiap hari selalu saja ada warga masyarakat yang direndam atau diperlakukan buruk oleh aparat.

“Seringnya baju sampai tidak mencukupi. Ayah saya, ditanya aparat tidak tahu jawabannya direndam dia. Pulang dari kebun kalau ada aparat marah, direndam lagi. Kadang sehari sampai tidak terhitung berapa kali direndam. Tapi aku sekali melawan. Diam orang itu tak berkata pun. Mereka sewenang-wenang,” kata Baina. Tertawa menang.

Pengawasan ketat

Tinggal di desa yang dianggap sebagai wilayah basis GAM atau kerap disebut daerah merah itu, pengawalan terhadap aktivitas kehidupan sehari-hari sangat ketat. Beberapa kewajiban tanpa pandang kondisi desa pun kerap diberlakukan.

Ketua Organisasi Pemudi Desa Simpang Dua, Marina mengatakan, untuk memenuhi kebutuhan pangan pun warga harus mengikuti aturan yang dibuat aparat TNI. Warga desa diharuskan menanam ubi dan sayur-sayuran di lahan halaman rumah mereka.

”Kami tidak boleh menggarap kebun. Kalau mau kita ke kebun harus lewat pos jaga, lapor dan diperiksa. KTP harus ditinggal. Tidak boleh membawa nasi atau makanan. Tidak boleh bawa bekal. Aparat takut kami ke kebun sebagai dalih mengantar makanan ke anggota GAM.” Marina juga berkisah, beras dan bahan makanan yang dimiliki warga wajib disimpan di pos. Setiap hari warga harus ke pos untuk mengambil jatah beras sesuai dengan jumlah jiwa yang ada di masing-masing rumah. Pengalaman ini melahirkan strategi baru bagi sebagian besar warga.

”Jadi kalau belanja ke pasar harus diperhitungkan kebutuhan kita, agar tidak diambil aparat. Meski kadang sudah dipas-paskan dengan kebutuhan, eh mereka tetap ambil juga.”

Tidak hanya urusan hajat hidup warga yang dikontrol. Bahkan hubungan manusia dengan Sang Pencipta pun dikontrol. ”Waktu sholat Jumat juga dikontrol. Yang tidak sholat Jumat, wah kena juga itu. Macam-macamlah hukumannya. Kalau sama laki-laki lebih berat hukumannya,” tambah Marina seraya tertawa ringan.

 

Mengungsi

Jika diminta menghitung berapa kali warga desa mengungsi, Marina, Baina, Abizah, dan Bangun Hayati mengaku sudah tidak ingat lagi. Dalam ingatan mereka, setiap kali ada kontak senjata di desa atau gunung-gunung (bukit) di sekitar desa mereka, warga lari mengungsi. Pengungsian massal seluruh warga secara serentak dilakukan dua kali.

”Kami dari Desa Simpang Dua dan Simpang Tiga pernah mengungsi ke Desa Malaka, di gedung SMP. Saat itu bulan puasa, terjadi kontak senjata. Kami lari karena merasa terancam. Kami mengungsi lebih dari satu bulan,” seru Abizah. Bangun Hayati dan Baina manggut-manggut mengamini.

Pengungsian massal kedua dilakukan ke desa di balik gunung, Desa Paya Ateuk, Kecamatan Pasie Raja, setelah warga mendapat ancaman. ”Tiap kali pulang dari pengungsian berantakan sekali. Harta-harta sudah hilang entah kemana. Kambing, ayam hilang,” tutur Marina.

”Anehnya, tidak ada bangkai di situ pun. Semua hilang,” ujar Abizah yang sekretaris pemudi ini.

”Tai kambing dimasukkan ke rumah kita. Tai-tai binatang ditaruh di baju kita yang tidak sempat kami bawa. Nggak tau bilang apa lagi. Uhhh… Jangan sampai kedua kali. Capek kita,” tambah Baina seraya mengeluh.

 

Kembalikan semangat

Saat konflik pecah, para pemudi dan warga umumnya merasa takut pada dua belah pihak, baik TNI maupun GAM. ”Mereka sama-sama pegang senjata. Kami perempuan harus main volley karena diwajibkan oleh aparat. Kalau tidak mau, direndam. Otomatis kami dianggap dekat dengan aparat walau terpaksa pun. Hidup kami terancam oleh pihak GAM. Sama-sama membuat takut lah,” keluh Bangun.

Di masa damai sekarang, mereka berempat ingin mengubur dalam-dalam masa kelam itu. Meski sakit yang mereka rasakan masih tersisa akibat perlakukan buruk yang sama dalam bentuk berbeda. Tantangan demi tantangan disodorkan pada perempuan-perempuan yang penuh semangat membangun desanya ini.

”Kalau sama aparat memang tidak bisa saya lupakan perlakukan buruknya, tetapi pada saudara kita sendiri? Jujur saat konflik dalam kondisi menyakitkan pun kita berusaha melindungi saudara kita yang di gunung (GAM). Tetapi setelah kondisi damai, mereka dapat jabatan, dapat segala macam bantuan, kita tidak ada yang diopen (diperhatikan). Tidak lagi diopennya saudara sendiri yang terpuruk karena konflik,” ungkap Marina.

Di sisi lain, aktivitas pemudi dan perempuan yang pernah berjaya sebelum konflik, tidak lagi berdaya pada masa kini. Untuk sekedar menggeliat bangkit pun, ada sebagian warga menentangnya.

”Bagaimana kami bisa berprestasi lagi seperti senior-senior kami jika berkegiatan pun dilarang. Kamipun tidak diberitahu mengapa dilarang. Hanya omongan bahwa pemudi tidak boleh olah raga, pemudi tidak boleh menari. Padahal kami melatih menari untuk anak-anak SD pun,” kata Abizah penuh semangat.

“Masa kami hanya boleh diam-diam saja di rumah. Berkesenian tidak boleh, padahal budaya Aceh yang kami pelajari. Aneh, pemudi tidak boleh maju,” ujar Baina.

Marina berharap, perdamaian benar-benar terwujud dalam bentuk yang lebih nyata. ”Damai ya damai, tapi tolong kembalikan semangat kami supaya kami tidak hanya ingat masa lalu yang buruk. Semangat untuk berjuang melalui kegiatan-kegiatan kesenian, kegiatan sosial. Alat-alat kesenian semua dulu ada untuk kegiatan kami, tetapi semua hancur oleh konflik. Bukan justru melarang tanpa alasan.”

Beruntung, perangkat desa termasuk geuchik (kepala desa) dan pemuda di desanya sangat mendukung kegiatan pemudi.