Satu Keluarga, Satu Mangrove: Upaya Warga Tambak Mulyo Menjaga Lingkungan

22 Februari 2025

JRS INDONESIA menyadari bahwa penyebab pengungsian paksa semakin beragam. Selain konflik sosial dan bencana alam, pengungsian juga sering dipicu oleh pembangunan dan perubahan iklim. Di Pantai Utara Jawa, ancaman nyata pengungsian paksa terjadi akibat kerusakan lingkungan seperti penurunan tanah dan abrasi yang disebabkan oleh eksploitasi air tanah serta kenaikan permukaan laut akibat pemanasan global.

Dalam upaya mendukung komunitas terdampak, JRS Indonesia bekerja sama dengan Lembaga Pendamping Usaha Buruh Tani dan Nelayan (LPUBTN) Keuskupan Agung Semarang dan sebuah pesantren di Demak. Kolaborasi ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran pentingnya pemulihan lingkungan melalui kegiatan seperti penanaman mangrove dan pembangunan fasilitas belajar yang aman dari pasang surut air laut untuk anak-anak setempat.

RW XV Tambak Mulyo, Semarang, merupakan kawasan pesisir yang sangat rentan terhadap abrasi dan banjir rob. Meskipun tanggul beton telah dibangun, langkah ini saja tidak cukup. Mangrove, dengan akar yang kuat, berperan sebagai pelindung alami dari abrasi sekaligus menciptakan ekosistem yang mendukung kehidupan satwa dan manusia.

Inisiatif “One Family One Mangrove” (OFOM) menjadi tonggak perubahan di RW XV Tambak Mulyo. Program ini dirancang untuk tidak hanya memulihkan lingkungan, tetapi juga membangun kesadaran kolektif masyarakat. Sebanyak 605 keluarga setempat dipilih menjadi “orang tua asuh” bagi bibit mangrove. Selain tanggung jawab teknis, peran ini juga membangun hubungan emosional antara warga dan tanaman mangrove. Melalui pelatihan intensif, warga belajar bahwa merawat mangrove berarti melindungi rumah mereka sendiri.

Dalam dua tahap, sebanyak 2.250 bibit mangrove didistribusikan ke masyarakat. Penanaman ini melibatkan berbagai kalangan, termasuk siswa SMA, yang turut ambil bagian dalam momentum perayaan Hari Bumi. Tidak hanya itu, pada Agustus 2024, tambahan 700 bibit jenis Rhizophora mucronata disiapkan berkat dukungan dana kompensasi jejak karbon dari pertemuan internasional Jesuit Education Network di Yogyakarta. Bibit ini dipelihara di lokasi pembibitan sementara hingga siap dipindahkan ke kawasan konservasi permanen.

Namun, perjalanan menuju keberhasilan tidaklah mudah. Pada tahap awal, 1.000 bibit mangrove gagal tumbuh akibat gelombang tinggi dan keterbatasan lahan. Meski begitu, warga RW XV bersama mitra terus berjuang dengan semangat untuk melestarikan lingkungan pesisir mereka.

Kendala utama meliputi lahan terbatas, gelombang tinggi, dan rendahnya kesadaran masyarakat. Untuk mengatasinya, teknik tanam gantung diterapkan di area yang terlalu dalam, sementara edukasi berkelanjutan menjadi kunci meningkatkan partisipasi masyarakat. Dukungan tambahan, seperti pembelian bambu, jaring, dan tenaga kerja dari LPUBTN KAS, menunjukkan semangat gotong royong yang menjadi inti keberhasilan program ini.

Program ini tidak hanya bertujuan menyelamatkan lingkungan, tetapi juga membangun rasa tanggung jawab kolektif untuk menjaga alam sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Inisiatif “One Family One Mangrove” membuktikan bahwa perubahan besar dapat dimulai dari langkah kecil. Dengan terus melibatkan generasi muda dan memperkuat kolaborasi dengan berbagai pihak, Tambak Mulyo dapat menjadi model bagi wilayah pesisir lainnya. Bersama-sama, kita dapat membangun masa depan yang lebih berkelanjutan.