Ruang Kesempatan: Menemani Pengungsi dalam Perjalanan Pemberdayaan
03 Oktober 2025|Tiffany Gracia
Mendampingi pengungsi adalah sebuah perjalanan yang penuh makna sekaligus tantangan. Setiap perjumpaan membuka mata saya akan keteguhan hati mereka yang hidup dalam ketidakpastian, namun tetap berusaha menemukan harapan dan cara untuk bertahan. Dalam ruang inilah saya melihat betapa pentingnya kesempatan kecil yang diberikan, karena justru dari hal-hal sederhana itulah mereka dapat merasa berdaya, dihargai, dan diterima sebagai sesama manusia. Saya merupakan seorang staf JRS Indonesia dalam project Walking with Asylum Seekers and Refugees di Bogor. Dalam keseharian, saya menemani teman-teman pengungsi melalui berbagai kegiatan, mulai dari pemberian bantuan finansial hingga kegiatan psikososial. Salah satu kegiatan yang akhir-akhir ini banyak saya ikuti adalah bazaar dari sebuah komunitas pengungsi bernama Craft Creation.
Craft Creation merupakan sebuah organisasi pengungsi yang beranggotakan perempuan, mulai dari yang masih lajang hingga yang sudah menjadi ibu bahkan nenek, dengan fokus pada pemberdayaan perempuan. Kegiatan Craft Creation biasanya berlangsung di JRS Centre setiap akhir pekan, Sabtu dan Minggu. Dalam kegiatan ini, para anggota menerima material dari JRS untuk kemudian mereka gunakan dalam membuat produk crochet, mulai dari gantungan kunci, bandana, tas, hingga pakaian. Awalnya, Craft Creation hadir sebagai kelas pemberdayaan yang bertujuan memberikan ruang bagi perempuan pengungsi untuk berdaya sekaligus mengisi waktu luang. Namun seiring berjalannya waktu, kelompok ini mendapat kesempatan yang difasilitasi oleh TalithaKum bekerja sama dengan JRS Indonesia untuk memperluas ruang gerak mereka dengan menjual hasil karya.
Bazaar pertama yang mereka ikuti adalah pada acara Run4U pada 1 Juni 2025, sebuah kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh Profesional dan Usahawan Katolik Keuskupan Agung Jakarta (PUKAT KAJ) untuk menggalang dana. Dalam kesempatan ini, Craft Creation berbagi booth bersama Laudato Si dan TalithaKum. Kegiatan ini menjadi awal yang sangat baik, tidak hanya untuk memperkenalkan produk mereka, tetapi juga sebagai bentuk public awareness yang diberikan JRS Indonesia kepada para pengunjung yang hadir.
Setelah itu, JRS bersama para pengungsi mendapat undangan dari Universitas Kristen Indonesia dalam rangka World Refugee Day pada 4 Juni 2025. Dalam kegiatan ini, pengungsi berkesempatan untuk mengikuti sit in class sekaligus kembali mengadakan bazaar. Kesempatan tersebut kembali menjadi ruang bagi Craft Creation untuk menampilkan hasil karya mereka. Setelah itu, semakin banyak tawaran dari TalithaKum untuk berpartisipasi dalam bazaar lain, seperti BanggaFest di Universitas Atma Jaya (12–13 Juni 2025), peringatan Hari Anti Human Trafficking di Taman Ismail Marzuki (30–31 Juli 2025), bazaar di Gereja Immaculata Kalideres (16 Agustus 2025), perayaan 35 tahun Santa Ursula BSD (23 Agustus 2025), bazaar di QBig (24 Agustus 2025), peringatan 10 tahun Laudato Si di Sentul (7 September 2025), hingga acara Lokakarya Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi Paroki Keuskupan Agung Jakarta.
Meskipun lokasi kegiatan berbeda-beda dan cukup jauh, Craft Creation dengan penuh semangat menerima kesempatan tersebut. Biasanya mereka menempuh perjalanan panjang dengan naik angkot dari Puncak, dilanjutkan KRL, kemudian menyambung mobil, semua itu dilakukan demi menghemat biaya transportasi. Apresiasi yang mendalam layak diberikan kepada Suster Irena, OSU, dan rekan-rekan dari TalithaKum yang dengan setia mencarikan berbagai kesempatan di mana pengungsi bisa berkontribusi. Dukungan semacam ini sangat berarti karena memberikan ruang nyata bagi pengungsi untuk berkembang.
Memberdayakan pengungsi sesungguhnya tidak hanya soal materi atau uang yang mereka dapatkan, melainkan juga kebanggaan, sukacita, dan rasa percaya diri yang tumbuh dari proses tersebut. Saya teringat akan perkataan Paus Fransiskus dalam pesannya pada World Day of Migrants and Refugees tahun 2018, dalam dokumen Message of His Holiness Pope Francis for the 104th World Day of Migrants and Refugees 2018 (14 January 2018), “Welcoming, protecting, promoting and integrating migrants and refugees”:
“Welcoming means, above all, offering broader options for migrants and refugees to enter destination countries safely and legally. … Offering broader options for migrants and refugees to achieve personal fulfilment as human beings in all the dimensions which constitute the humanity intended by God the Creator.”
Kutipan ini menegaskan bahwa memberi kesempatan bagi para pengungsi untuk mengekspresikan keterampilan, membangun kepercayaan diri, dan terhubung dengan masyarakat adalah wujud nyata dari semangat welcoming. Itulah jalan untuk membuka peluang lebih luas agar mereka dapat mencapai pemenuhan diri sebagai manusia seutuhnya, sesuai martabat yang dikehendaki Sang Pencipta.
Tidak hanya Suster Irena, tetapi juga banyak pengunjung yang mulai terbuka untuk memberi kesempatan bagi pengungsi. Sebagai contoh, Craft Creation mendapat pesanan boneka untuk acara wisuda, pesanan 12 rosario crochet, hingga undangan untuk mengikuti pelatihan bersama. Tanda-tanda keterbukaan ini adalah sesuatu yang patut disyukuri, karena Gereja melalui umatnya telah membuka tangan dan hati, memberikan ruang bagi pengungsi untuk berkembang.
Sebagaimana disampaikan oleh F (37), salah satu manajemen Craft Creation:
“These bazaars are a great collaboration and help for us, through which we can introduce the abilities of the women in the refugee community in Indonesia to everyone, and we can advance our art. Besides progress and familiarity, we can also solve some of the economic problems that all refugees are struggling with by receiving a small amount of money.”
Saya pribadi merasa terkesan dengan dinamika ini—baik dari pengungsi yang dengan penuh semangat mencoba hal baru seperti bazaar dan konsisten mengikutinya, maupun dari Suster Irena, TalithaKum, serta rekan-rekan gereja yang membuka kesempatan luar biasa bagi perkembangan kegiatan psikososial teman-teman pengungsi. Semoga ke depan semakin banyak peluang bagi para pengungsi untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan psikososial, baik di ruang lingkup gereja maupun masyarakat luas, sekaligus memperkuat solidaritas umat agar dapat saling bahu-membahu membantu mereka yang membutuhkan.