Refleksi Pengalaman menjadi Relawan JRS

14 Oktober 2024|Ismiatul Ghafira

PERKENALKAN, saya Ismiatul Ghafira, akrab disapa Mia. Saya berusia 23 tahun, berasal dari Bireuen, dan merupakan seorang lulusan DIII Teknik Sipil Politeknik Negeri Lhokseumawe. Sebelum menjadi relawan JRS Indonesia, saya pernah menjadi relawan bencana alam banjir yang terjadi di Aceh Utara pada tahun 2020. Pengalaman tersebut menguatkan komitmen saya untuk membantu mereka yang membutuhkan dan memperluas pemahaman tentang tantangan-tantangan yang dihadapi oleh komunitas rentan.

Sebagai relawan JRS Indonesia yang bertugas di Kamp Pengungsian SKB Bireuen, saya memiliki tugas dan tanggung jawab membantu pengungsi membelanjakan bahan bahan mentah untuk dimasak sesuai dengan anggaran yang telah dibuat, mendokumentasikan kegiatan pada saat memasak dan distribusi makanan, membuat laporan keuangan serta mengumpulkan nota belanja. Selain itu, saya juga ikut menemani pengungsi, tergantung kebutuhan pengungsi dan situasi di lapangan, seperti mendengarkan cerita dan bermain dengan anak-anak.

Pengalaman berinteraksi dengan pengungsi Rohingya merupakan bagian yang paling bermakna. Pengungsi bercerita tentang bagaimana perjalanan yang mereka lalui selama hampir kurang lebih sebulan lamanya di dalam perahu yang terombang ambing di lautan, bagaimana mereka kehilangan keluarga dan orang orang yang mereka sayangi, bahkan ada beberapa trauma yang mungkin sampai saat ini hanya mereka yang merasakan, betapa kejamnya hidup yang harus mereka jalani. Terkadang juga mereka merasa terisolasi dan kehilangan harapan. Interaksi dengan pengungsi sangat memperkaya saya. Kisah yang penuh perjuangan, pengorbanan, serta kekuatan memberikan saya rasa hormat yang mendalam terhadap ketahanan yang mereka tunjukkan, menjadikan pribadi yang lebih sadar akan penderitaan manusia, lebih bersyukur dan empati terhadap sesama makhluk Tuhan. Ada banyak momen ketika pengungsi mau berbagi cerita pribadi, hal tersebut menjadikan saya merasa sangat berguna. Bagi para pengungsi, kehadiran relawan membuat mereka merasa tidak sendiri, lebih dihargai dan didengarkan.

Berkomunikasi dengan pengungsi mampu meningkatkan keterampilan komunikasi, membuat saya lebih peka terhadap apa yang akan saya katakan pada saat merespon pengungsi berbicara tanpa menyakiti perasaan pengungsi. Selama menjalani tugas, banyak emosi yang saya rasakan pada saat pertama kali memperkenalkan diri sebagai relawan, pengungsi menyambut dengan perasaan hangat yang membuat saya merasa diterima. Perasaan sedih muncul ketika mendengar cerita mereka tentang perang, kekerasan, bahkan kehilangan yang jika saya sadari banyak masalah para pengungsi di luar kendali saya. Di sisi lain, ada momen yang membuat saya merasa bahagia dan bersyukur saat berhasil memberikan bantuan yang berarti, seperti melihat anak-anak tersenyum pada saat mengajak mereka bermain dan keliling sekitar kamp menggunakan sepeda motor, orang tua yang berterima kasih setelah menerima bantuan yang mereka butuhkan.

Perasaan-perasaan tersebut tidak lepas dari tantangan. Salah satunya yaitu kendala bahasa yang sedikit banyaknya mempersulit dalam komunikasi langsung. Saya harus mampu memahami bahasa tubuh, menggunakan bantuan Google Translate atau memanggil salah seorang pengungsi yang mampu menerjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Hal tersebut membuat beberapa interaksi menjadi lamban. Selain itu, tantangan terbesar saya adalah ketika cerita sedih dan trauma dari pengungsi mampu mempengaruhi mood dalam seharian penuh dan menyebabkan kelelahan. Untuk mengatasi kelelahan, seringkali saya meluangkan waktu untuk keliling sepulang dari kamp pengungsian dan juga tetap menjaga rutinitas perawatan diri seperti ibadah, makan dan istirahat yang cukup.

Dari pengalaman ini saya belajar bahwa kemanusiaan tidak mengenal batas, apapun perbedaannya, perlakukan semua orang dengan rasa hormat. Ada satu momen yang memberikan pencerahan, ketika seorang pengungsi yang kehilangan orangtuanya masih tetap menunjukkan rasa syukur dan mencoba membantu pengungsi lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan spiritual seseorang bisa bertahan dalam kondisi/situasi yang paling menyakitkan, penerimaan dan kesabaran yang membuktikan bahwa setiap manusia mampu dan tetap berusaha untuk melakukan yang terbaik.

Momen yang sangat berkesan adalah ketika pertama kali JRS menyetujui untuk memberikan makanan tambahan berupa jus dan camilan sehat kepada anak anak. Antusiasme dan senyum kebahagiaan yang ditunjukkan oleh anak anak pada saat menerima makanan tersebut sangat menyentuh hati, yang mungkin bagi sebagian kita yang tidak merasakan apa yang mereka rasakan, menerima snack itu hal yang biasa dan mudah untuk didapatkan. Bahkan setiap harinya di sore hari, dengan pakaian rapi, senyuman paling menawan, mereka menunggu untuk mendapatkan makanan tambahan tersebut. Senyum dan tawa mereka, meskipun sejenak seolah olah mereka baru saja menemukan kembali kebahagiaan yang telah lama hilang. Bagi relawan, senyuman tulus merupakan sumber kekuatan dan inspirasi untuk relawan terus bekerja dan mendampingi mereka. Saya menyadari kontribusi yang saya berikan, sekecil apapun bisa membawa perubahan nyata bagi mereka yang membutuhkan.

Terakhir, saya berterima kasih atas kesempatan, dukungan dan kepercayaan kepada kami. Saya bersyukur bisa bergabung menjadi relawan JRS Indonesia. Banyak ilmu yang didapatkan bukan hanya tentang kemanusiaan. Terima kasih kepada kepada rekan kerja saya, bang Muazir, yang selalu membantu di lapangan, kepada rekan-rekan relawan, petugas keamanan yang telah memberikan dukungan moral dan berbagi cerita setiap harinya. Terima kasih juga kepada Mbak Asmiarsi, Pak Indra, Pak Hendra yang telah menjadi atasan yang selalu memberikan apresiasi kepada kami.

*Foto disamarkan untuk melindungi identitas pengungsi.