Ratifikasi Konvensi Bom Curah: Upaya Mengubah Perilaku Negara
05 Mei 2014|Indro Suprobo
“Sebelumnya, saya memiliki banyak mimpi. Namun setelah kecelakaan itu terjadi, saya kehilangan semua mimpi saya. Saat ini, saya memiliki mimpi yang lain, yakni tak ingin lagi menyaksikan orang lain menghadapi masalah yang sama seperti yang saya alami dalam hidup sehari-hari karena bom curah,” kata Berihu Mesele, Ethiopia.
Berihu Mesele adalah mantan tentara Ethiopia. Ketika menolong anak-anak di sebuah sekolah yang menjadi sasaran bom selama terjadi konflik perbatasan, sebuah bom curah meledak dan menghilangkan kedua belah kakinya. Kini ia terlibat aktif dalam kampanye anti bom curah.
Bom curah adalah bahan peledak yang bermuatan ratusan bom kecil. Bom ini dapat dijatuhkan dari pesawat atau ditembakkan dari darat, serta dirancang untuk terburai di udara, sehingga bom-bom kecil tersebut terjatuh di wilayah sasaran. Seperti ranjau darat, jutaan bom curah yang gagal meledak dan tersebar di berbagai wilayah konflik bersenjata, merupakan ancaman paling mematikan bagi warga sipil pascaperang karena dapat meledak sewaktu-waktu ketika tersentuh oleh orang yang sedang mengerjakan lahan atau anak-anak yang sedang bermain. Proses pembersihannya membutuhkan waktu yang lama, berbiaya mahal dan sangat berbahaya karena dapat membunuh petugas yang membersihkannya.
Konvensi Bom Curah (Convention on Cluster Munition) adalah sebuah perjanjian internasional yang melarang penggunaan, produksi, penimbunan, maupun transfer bom curah. Perjanjian tersebut mewajibkan penghancuran timbunan bom curah dalam waktu 8 tahun dan pembersihan wilayah yang terkontaminasi dalam waktu 10 tahun. Konvensi ini telah ditandatangani oleh 113 negara dan 84 negara di antaranya telah meratifikasinya. Pemerintah Indonesia telah ikut menandatangani Konvensi ini pada tanggal 3 Desember 2008, namun hingga kini belum meratifikasinya.
Dalam rangka memperingati “Hari Internasional tentang Kesadaran dan Aksi Bantuan atas Ranjau”, Institut International Studies (IIS) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menyelenggarakan rangkaian acara pemutaran film dan diskusi dengan tema Suara Indonesia untuk Ratifikasi Konvensi Bom Curah. Rangkaian kegiatan ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi halangan pemerintah Indonesia dalam meratifikasi konvensi, mendorong Pemerintah Indonesia untuk segera meratifikasinya, dan menggalang dukungan dari masyarakat luas untuk menandatangani petisi yang mendorong perlunya ratifikasi Konvensi Bom Curah oleh Pemerintah Indonesia.
Pemutaran film, diskusi, pameran foto dan penandatanganan petisi ini diselenggarakan di beberapa kampus di Yogyakarta. Pada tanggal 4 April 2014, kegiatan diselenggarakan di kampus Universitas Gadjah Mada (UGM). Pada tanggal 11 April 2014, kegiatan diselenggarakan di kampus Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Yogyakarta. Pada 16 April 2014, kegiatan diselenggarakan di Universitas Respati Yogyakarta (UNRIYO). Dalam rangkaian kegiatan ini, JRS Indonesia terlibat sebagai salah satu narasumber diskusi.
Rochdi Mohan Nazala, M.S.A., M. Litt., dosen dan peneliti Jurusan Hubungan Internasional FISIPOL UGM menilai bahwa pemerintah dan DPR tidak serius dalam membahas ratifikasi Konvensi Bom Curah meskipun hal itu sudah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas).
Sebagai negara yang memiliki peran penting dalam menjaga perdamaian di kawasan ASEAN, ratifikasi Konvensi Bom Curah oleh pemerintah Indonesia akan mendorong negara-negara lain untuk ikut meratifikasi konvensi. June Cahyaningtyas, S.I.P., dosen Jurusan Hubungan Internasional FISIPOL UPN Yogyakarta menyatakan bahwa dalam rangka diplomasi internasional, tindakan ratifikasi konvensi oleh sebuah negara merupakan upaya nyata membangun kepercayaan antarnegara.
Sementara itu, dosen Jurusan Hubungan Internasional dan Wakil Dekan Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial UNRIYO, Hartanto, S.I.P., M.A. menyatakan bahwa upaya-upaya mendorong ratifikasi konvensi oleh negara-negara yang sudah menandatanganinya itu merupakan upaya mengubah perilaku negara-negara agar menjadi lebih sesuai dengan nilai-nilai yang disepakati secara internasional. Konvensi Bom Curah adalah sebuah kesepakatan internasional tentang nilai-nilai yang harus dijalankan secara bersama-sama.
“Penandatanganan Konvensi oleh Pemerintah Indonesia menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia sudah memiliki itikad baik yang perlu terus didukung meskipun membutuhkan waktu. Jika masyarakat Indonesia telah menunjukkan dukungan terhadap larangan bom curah, salah satunya melalui penandatanganan petisi, diharapkan Pemerintah merasa didukung dan akan segera meratifikasinya,” kata Hartanto.
Untuk meyakinkan masyarakat dan pemerintah Indonesia bahwa ratifikasi konvensi tersebut penting dan perlu, sosialisasi tentang dampak penggunaan bom curah perlu terus dilakukan. Sosialisasi dampak bom curah yang diderita oleh masyarakat sipil membantu masyarakat untuk menyelami pengalaman derita dan kehilangan yang dialami oleh para korban dan penyintas bom curah, serta menumbuhkan empati terhadap mereka. Empati ini pada gilirannya akan mendorong proses ratifikasi Konvensi Bom Curah secara lebih efektif. Semoga impian Berihu Mesele yang tidak mau lagi menyaksikan korban bom curah berikutnya, semakin menjadi kenyataan. ***