Peziarah Pengharapan: Umat Didorong Menaruh Perhatian pada Migran dan Pengungsi

05 September 2025

Foto: Seksi Dokumentasi Paroki St Yakobus Klodran

Bantul, 24 Agustus 2025 – Suasana hening menyelimuti Taman Doa Wajah Kerahiman, Bantul, pada Minggu petang ketika umat berkumpul untuk mengikuti Ekaristi Novena Yubileum Pengharapan bulan ketujuh. Perayaan yang mengusung tema “Peziarah Pengharapan Bersama Migran” ini dipimpin oleh Romo Martinus Dam Febrianto, SJ, Direktur Nasional Jesuit Refugee Service (JRS) Indonesia, didampingi oleh Romo Laurentius Dwi Agus Merdi Nugroho, Pr., pastor Paroki St. Yakobus, Klodran, Bantul.

Dalam homilinya, Romo Dam mengajak umat menaruh perhatian pada persoalan migrasi global, khususnya situasi para pengungsi dan pekerja migran yang kerap menghadapi penderitaan, diskriminasi, bahkan kematian di negeri orang.

Romo Martinus Dam Febrianto, SJ. dan Romo Laurentius Dwi Agus Merdi Nugroho, Pr. (berkacamata) seusai Perayaan Ekaristi Novena Kerahiman Ilahi VII di kompleks Taman Doa Wajah Kerahiman (TDWK), Pajangan, Bantul, DIY, Minggu 24/8/2025.

Migrasi sebagai Wajah Zaman Kita

Mengawali homili, Romo Dam berbagi pengalamannya baru-baru ini mendampingi rombongan tamu dari Singapura mengunjungi kamp pengungsi Rohingya di Aceh. “Saat ini ada sekitar 300 pengungsi Rohingya di Aceh, tinggal di tenda-tenda dan bangunan lama yang belum dipakai,” ungkapnya.

Ia kemudian menguraikan gambaran lebih luas: di dunia ada lebih dari 120 juta orang terpaksa mengungsi karena persekusi, konflik, dan perang. Sejumlah negara menampung jutaan pengungsi, sementara di Indonesia jumlahnya hanya sekitar 12.000 orang, termasuk 1.300 Rohingya.

Selain itu, fenomena migrasi internasional juga semakin besar. Lebih dari 300 juta orang di seluruh dunia meninggalkan tanah kelahirannya untuk mencari kehidupan lebih baik. Dari jumlah itu, sekitar 9 juta berasal dari Indonesia, terutama sebagai pekerja migran. “Sayangnya, sekitar 5 juta di antaranya berangkat tanpa prosedur yang benar dan rentan jadi korban perdagangan orang serta eksploitasi,” tambahnya.

Kisah pilu pekerja migran pun hadir dalam data yang dibagikan: sejak Januari 2025, 100 jenazah pekerja migran Indonesia telah dipulangkan ke NTT, sebagian besar dari Malaysia. “Setiap pekan ada 2-3 peti jenazah yang tiba di Kupang. Kita menyebutnya migrasi terakhir yang menyayat hati,” kata Romo Dam.

Manusia: Homo Migrans

Dengan menyinggung sejarah keluarganya sendiri yang berpindah dari satu daerah ke daerah lain, Romo Dam menekankan bahwa migrasi adalah bagian dari kodrat manusia. “Manusia adalah homo migrans. Sejak nenek moyang kita, manusia berpindah untuk mencari hidup yang lebih baik,” ujarnya.

Ia menautkan realitas ini dengan kisah-kisah migrasi dalam Kitab Suci: Abraham yang meninggalkan Ur Kasdim, bangsa Israel keluar dari Mesir, hingga Yesus Kristus sendiri yang dimaknai sebagai “migrasi Allah” ke dunia demi keselamatan manusia.

Migrasi, Harapan, dan Misi

Homili Romo Dam juga menyinggung Hari Migran dan Pengungsi Sedunia ke-111 yang akan diperingati pada 4–5 Oktober 2025 dengan tema “Para Migran, Misionaris Pengharapan”. Tema ini, menurutnya, sangat sejalan dengan Yubileum Pengharapan yang sedang dijalani Gereja.

“Migrasi dan harapan adalah dua hal yang tak terpisahkan. Para migran dan pengungsi adalah saksi pengharapan. Dalam keterbatasan, mereka tetap berjuang, percaya pada Allah, dan memberi kesaksian iman di negeri asing,” jelasnya. Bahkan, kehadiran mereka seringkali merevitalisasi komunitas gerejawi yang mulai kehilangan semangat rohani.

Ia menegaskan, keberlangsungan Gereja sendiri tak lepas dari migrasi. “Extra migrationem nulla Ecclesia. Tanpa migrasi, Gereja tidak akan ada. Dan tanpa Gereja, tidak ada keselamatan. Maka tanpa migrasi, tidak ada keselamatan,” tegasnya.

Panggilan untuk Hidup Bersolider

Menghubungkan Injil hari Minggu itu, Romo Dam mengajak umat untuk merenungkan perjalanan iman sebagai sebuah migrasi menuju Kerajaan Allah. Yesus berkata, “Orang akan datang dari Timur dan Barat, dari Utara dan Selatan, dan mereka akan duduk makan di dalam Kerajaan Allah.”

Namun, pintu menuju Kerajaan itu disebut “sempit” karena menuntut perjuangan hidup nyata dalam solidaritas. “Pertanyaannya, apakah aku sudah hidup solider? Apakah aku sudah menunjukkan kasih konkret kepada yang kecil, lemah, dan tersingkir—khususnya para migran dan pengungsi di sekitar kita?” ajaknya.

Ia kemudian mengingatkan perumpamaan penghakiman terakhir dalam Injil Matius 25:31–36. Yesus mengidentifikasi diri-Nya dengan orang asing yang diberi tumpangan, yang lapar dan haus, yang telanjang dan sakit, bahkan yang berada dalam penjara. “Hidup solider kepada mereka adalah jalan masuk kita menuju Kerajaan Allah,” tandasnya.

Doa Bagi Migran dan Pengungsi

Menutup homili, Romo Dam mengutip pesan Paus Leo XIV yang mempercayakan para migran dan pengungsi, serta mereka yang mendampingi mereka, kepada perlindungan Santa Perawan Maria. “Semoga Maria, penghibur para migran, menjaga harapan tetap hidup di hati mereka, dan menopang kita semua dalam membangun dunia yang menyerupai Kerajaan Allah,” pungkasnya.

Novena Yubileum Pengharapan

Novena Yubileum Pengharapan sendiri digelar sebagai rangkaian persiapan menyambut Tahun Yubileum 2025 yang bertema “Peziarah Pengharapan”. Setiap bulan, umat diajak merenungkan wajah pengharapan dari berbagai perspektif. Pada bulan ketujuh ini, wajah pengharapan ditampilkan melalui kisah para migran dan pengungsi.

Perayaan di Bantul ini menjadi pengingat bahwa perjalanan iman umat Allah tidak bisa dilepaskan dari perjalanan manusia sebagai peziarah yang senantiasa berpindah, baik secara fisik maupun rohani. Dan di tengah zaman migrasi ini, umat Kristiani dipanggil untuk hadir sebagai sahabat, pelindung, sekaligus pembawa pengharapan bagi sesama yang terluka dalam pengungsian dan perantauan.