Perjalanan Harapan Maryam
19 Januari 2025|Pius Marmanta
DALAM beberapa tahun terakhir, JRS Indonesia, selain memenuhi kebutuhan dasar, telah mendorong para pengungsi yang sementara tinggal di Bogor, Jawa Barat, Indonesia, untuk mengorganisir diri mereka guna memberikan kontribusi positif bagi komunitas pengungsi dan masyarakat lokal. Proyek pemberdayaan komunitas ini, yang pada dasarnya merupakan kegiatan kolaboratif dengan para pengungsi, mencakup penyediaan pendidikan dasar dan ekstrakurikuler untuk anak-anak pengungsi, pelajaran bahasa, serta pelatihan keterampilan seperti komputer dasar, fotografi dan videografi, pembuatan kerajinan, serta menjahit.
Waktu menunggu untuk penempatan kembali (resettlement) sering kali sangat lama, menciptakan keadaan yang tidak pasti, tanpa batas waktu yang jelas. Situasi ini sering menyebabkan masalah kesehatan mental di kalangan pengungsi.
Pada saat yang sama, JRS menemukan bahwa banyak pengungsi memiliki keterampilan berharga yang dapat dibagikan, tidak hanya dalam komunitas pengungsi, tetapi juga kepada masyarakat lokal. Proyek pemberdayaan ini memfasilitasi para pengungsi untuk meningkatkan potensi mereka, berbagi kemampuan, dan memberikan kontribusi positif bagi komunitas.
Perubahan yang Signifikan
Setiap akhir tahun, untuk mengevaluasi layanan, termasuk program kolaboratif, JRS melakukan proses yang disebut sebagai Most Significant Change (MSC). Hasil penting dari proses MSC ini mencakup kesaksian seperti yang disampaikan Maryam, seorang pengungsi perempuan dari Ethiopia, yang menceritakan dampak positif dari partisipasinya dalam program kolaboratif terhadap kehidupannya.
Karena ketidakstabilan di negaranya, Maryam dan keluarganya mencari suaka di Indonesia pada tahun 2015. Dengan impian hidup yang lebih baik, dia tidak pernah membayangkan bahwa perjalanannya akan membawanya ke negara baru, Indonesia, dan tinggal di Cipayung, sebuah desa perbukitan di daerah Bogor. Meninggalkan segala hal yang dikenalnya, Maryam berjuang di dunia baru dengan adat dan bahasa yang berbeda.
Maryam berbagi kondisinya sebelum bergabung dengan Refugee Talent Program (RTP), sebuah pusat belajar yang didirikan secara kolaboratif oleh komunitas pengungsi dan JRS Indonesia di Cipayung. Dia merasa tersesat dan sendirian, tanpa aktivitas apa pun, sementara stres karena situasinya membebaninya. Pemalu dan kurang percaya diri, dia merasa terjebak dalam siklus tidur dan makan sepanjang hari, merindukan tujuan, alasan untuk bangun di pagi hari, yang tampaknya sulit dicapai.
Situasinya perlahan berubah setelah bergabung dengan pusat belajar. Maryam mengatakan, “Mengajar bahasa Inggris untuk anak-anak di pusat belajar membuat stres saya perlahan menghilang. Saya punya kesempatan untuk berbicara dengan orang lain, mengenal wajah-wajah baru, serta bekerja sebagai administrator dan pengajar. Dukungan transportasi dari JRS, meskipun sederhana, sangat membantu saya, setidaknya untuk keluar rumah sesekali. Jika uangnya tidak terpakai, saya bisa memberikannya kepada ibu saya untuk membeli makanan.”
Maryam mengungkapkan kesan positifnya terhadap staf JRS Indonesia dan para siswa, “Staf JRS selalu tersenyum, memperlakukan saya sebagai manusia. Kami menjadi teman. Senyuman memberi harapan. Saya merasa nyaman, dan stres saya berkurang karena saya sibuk. Saya berbicara dengan orang lain, bertemu staf JRS, mengikuti diskusi, dan masuk kelas, berada bersama anak-anak. Kami duduk bersama seperti keluarga. Saya tidak merasa seperti orang asing; saya lebih termotivasi daripada sebelumnya.”
Bergabung dengan pusat belajar membuka peluang bagi Maryam untuk bertemu orang-orang, berbagi keterampilannya, dan secara signifikan mengubah hidupnya, memberikan kenyamanan dan kepercayaan diri yang baru. Tidak lagi merasa sendirian atau terbebani, dia diterima sebagai bagian dari keluarga, menemukan kekuatan dan motivasi dalam pekerjaannya serta komunitasnya. Perjalanan Maryam sebagai pengungsi di Indonesia menjadi kisah harapan, ketangguhan, dan kekuatan transformasi dari dukungan serta kesempatan. Dia tahu tantangan masih menantinya, tetapi dia siap menghadapinya dengan dukungan dari teman-teman, keluarga, dan JRS.
*Artikel ini telah diterbitkan dalam Jesuits Yearbook 2025