Pendidikan Untuk Masa Depan: Sebuah Harapan Pencari Suaka dan Pengungsi di Cisarua
03 Maret 2016|Diah Tricesaria
Bagi pencari suaka dan pengungsi, meninggalkan negara asalnya bukan hanya berarti meninggalkan kampung halaman, keluarga, teman dan rumahnya namun juga segala kesempatan untuk belajar dan berkembang melalui pendidikan. Bagi pencari suaka dan pengungsi, pendidikan dirasa sangat penting. Selain sebagai hak fundamental, pendidikan menjadi salah satu sumber pengharapan mereka untuk terus belajar meskipun dalam ketidakpastian agar dapat meningkatkan kualitas hidup. UNHCR menyebutkan bahwa pendidikan merupakan kunci masa depan yang aman dan berkelanjutan bagi pengungsi dan komunitasnya.
Sayangnya, fasilitas pendidikan bagi pencari suaka dan pengungsi di negara-negara transit seperti Indonesia umumnya tidak memadai ataupun sesuai dengan kebutuhan para pencari suaka dan pengungsi. Untuk mendapat pendidikan, mereka akhirnya mengandalkan inisiatif dari lembaga kemanusiaan dan masyarakat sipil. Sederetan lembaga kemanusiaan berperan besar dalam mendorong munculnya learning center bagi pencari suaka dan pengungsi. Mereka menyadari, ketiadaan akses untuk bekerja meninggalkan hanya sedikit pilihan aktivitas yang bisa mereka lakukan. Para orangtua merasa resah karena anak-anaknya pun tidak dapat bersekolah.
JRS pun merasakan keresahan yang sama. Pada awal kehadiran JRS di Bogor tahun 2010, program pendidikan merupakan salah satu karya utama yang ditawarkan dengan mendatangi pencari suaka dan pengungsi yang meminta JRS untuk menemani mereka belajar bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Kemudian pada tahun 2013, JRS menjadi satu-satunya lembaga kemanusiaan yang mempersembahkan karyanya untuk pencari suaka dan pengungsi di wilayah Cisarua. Beruntung JRS dipertemukan dengan pencari suaka dan pengungsi yang berbakat dan berkeinginan untuk membantu menjadi tenaga pengajar di JRS Learning Center secara cuma-cuma.
Semangat para sukarelawan guru ini sungguh luar biasa. Meskipun mereka juga sedang hidup dalam ketidakpastian, mereka tetap ingin berbagi pengetahuan yang mereka miliki. Ibrahim, meskipun seringkali resah karena hasil wawancaranya tak kunjung keluar, tetap semangat mengajar kelas bahasa Inggris setiap hari di JRS Learning Center. “Seorang bapak tua memberitahu saya bahwa ilmu harus dibagikan. Jangan egois dan menyimpannya hanya untuk kepalamu saja. Bagikan ilmu itu… Inilah yang memotivasi saya menjadi guru di JRS Learning Center.”
Ibrahim bergabung menjadi sukarelawan di JRS Learning Center pada saat jumlah murid di learning center bertambah banyak. Kelas-kelas baru pun dibuka. Murid-murid sekarang tidak hanya berasal dari anak-anak pencari suaka dan pengungsi namun juga para orangtua itu sendiri. “Ketika kelas-kelas di JRS Learning Center bertambah banyak, saya senang sekali. Tidak pernah saya merasa terbebani. Saya malah merasa berbahagia. Murid-murid itu datang dan bertambah banyak artinya mereka melihat ada harapan dalam diri saya, dalam ilmu yang saya bagi. Mereka berharap akan masa depan yang lebih baik. Dan saya punya sedikit namun cukup pengetahuan tentang bahasa Inggris, jadi mengapa tidak saya bagi saja?” ujar Ibrahim.
Bagi Ibrahim dan mungkin pencari suaka serta pengungsi lainnya, pendidikan bukan hanya perkara hak saja namun juga harapan. Munculnya learning center lainnya yang diprakarsai oleh komunitas pencari suaka dan pengungsi di wilayah Cisarua turut mengamini pernyataan Ibrahim. “Anak-anak kami harus tetap belajar. Mereka harus selalu memiliki harapan akan masa depan yang cerah dan menjanjikan. Hanya itu satu-satunya yang membuat kami bisa terus bertahan di sini,” ungkap Ali Raza. Ia bersama para orangtua dari 30 anak pencari suaka membuka sebuah learning center di pertengahan tahun 2015 dengan mengandalkan tiga buah kelas dan para guru yang juga berasal dari komunitas pengungsi itu sendiri. Sekolah ini bahkan memiliki lebih banyak mata pelajaran selain bahasa Inggris, yaitu matematika, ilmu pengetahuan alam dan kesenian.
Di desa lainnya, Habib Abdul bersama komunitasnya juga mengelola sebuah learning center. Uniknya, para guru sukarelawan juga memiliki hari khusus untuk belajar bersama. Habib mengatakan, “Guru-guru di sini juga memiliki keinginan belajar yang tinggi. Mereka juga mempunyai cita-cita sendiri. Maka kami memutuskan untuk mempunyai satu kelas khusus bagi guru-guru agar bisa belajar bersama, bertukar ilmu dan meningkatkan kualitas pengetahuan kami.”
Seperti layaknya pendidikan, fasilitas learning center pun mengalami penambahan makna. Ruang-ruang di learning center bukan hanya menjadi tempat untuk memenuhi hak akan pendidikan namun juga menjadi tempat untuk bersosialisasi, bertemu teman dan merasa aman. Tidak sedikit dari para guru sukarelawan, yang mengajar di learning center lain, tercatat sebagai murid di JRS Learning Center untuk kelas kerajinan tangan, ekonomi rumah tangga, atau kelas English for Advance.
“Saya tidak tahu apa jadinya kalau JRS Learning Center tidak ada,” ucap Ali, salah seorang pengungsi yang sudah menjadi guru sukarelawan di JRS Learning Center sejak 2013. “Bagi saya tempat ini seperti rumah kedua. Bahkan bagi teman-teman pencari suaka lainnya, JRS Learning Center juga terasa seperti rumah. Kami bisa datang, berdiskusi tentang pelajaran, memiliki aktivitas, melupakan sejenak penderitaan dan kekhawatiran akan masa depan dengan terus memupuk harapan kami dengan kegiatan belajar-mengajar di sini. Ini bukan hanya sebuah tempat belajar. Ini adalah tempat kami menjaga harapan dan masa depan,” tambahnya lagi.