Mocok
20 Juni 2009|Sylvester Gultom
Ada satu kata yang selalu diucapkan oleh Pemukim Eks-Pengungsi Konflik Aceh di beberapa lokasi di Sumatera Utara. Kata itu adalah mocok atau mocok-mocok, yang ditemukan dalam serangkaian kegiatan pengumpulan data mengenai Pemukim Eks Pengungsi Konflik Aceh di Sumatera Utara di Barak Induk Kec. Sei Lepan, Kab Langkat, di Sei Minyak Kec. Besitang, Kab. Langkat, Barabaraunte di Kec. Batangtoru Kab. Sidempuan, Desa Marjandi (Embong) di Kec Panombean Panei Kab.Simalungun, Desa Karanganom, Desa Raya Besi dan dan Desa Simpang Raya di Kec. Panei Tonga Kab. Simalungun.
Bagi pemukim eks-pengungsi konflik aceh, mocok-mocok menjadi jawaban utama ketika kita menanyakan tentang pekerjaan dan sumber-sumber pendapatan keluarga. Mocok-mocok menjadi salah satu cara untuk memenuhi semua kebutuhan keluarga, baik kebutuhan primer (pangan, sandang, rumah dan kesehatan) maupun kebutuhan sekunder lainnya. Jenis pekerjaan lainnya, seperti tani dan berdagang hanya menjadi pekerjaan sampingan untuk menambah pendapatan keluarga. Lalu apa sebenarnya arti dan makna yang terkandung dalam kata mocok-mocok ini, sehingga para pemukim sangat biasa dan fasih menggunakan kata ini untuk melukiskan pekerjaan dan sumber pendapatan mereka?
Dari pengalaman di lapangan, ada banyak makna yang terkadung dalam kata mocok-mocok. Mocok atau mocok-mocok sering dikenakan kepada orang yang memiliki penghasilan tidak tetap. Orang yang memiliki penghasilan yang tidak tetap ini biasanya disebut orang yang pekerjaannya mocok-mocok. Orang dengan pekerjaan mocok-mocok tidak memiliki klasifikasi keahlian atau bidang tertentu. Mocok-mocok lebih mirip dengan buruh harian lepas. Besarnya upah yang diterima hari ini dengan besok juga tidak selalu sama, tergantung beratnya beban pekerjaan dan sangat bergantung kepada kebaikan hati pemberi pekerjaan. Jenis pekerjaan yang diberikan pemberi kerja juga tidak selalu sama, tergantung kebutuhan pemberi kerjaan. Berapa lama pekerjaaan itu akan berlangsung, juga tergantung pemberi kerja, bisa setengah hari, satu hari, satu minggu. Tidak ada jaminan akan dipekerjakan untuk hari berikutnya. Dengan kata lain, kandungan makna dari kata mocok sebenarnya adalah ketidakpastian penghasilan.
“Ketidakpastian” bisa jadi memang potret dominan hidup pemukim eks pengungsi konflik aceh yang tinggal di beberapa lokasi di Sumatera Utara ini. Ketidakpastian, bukan hanya dari sisi penghasilan karena hidup dari mocok-mocok, tetapi juga terkena pada sisi lain hidup para pemukim. Bagi pemukim di Barabaraunte, Barak Induk dan Sei Minyak dengan jumlah pemukim sekitar 520 KK atau hampir 1700an jiwa ini, ketidakpastian itu sangat terasa dalam hal tanah tempat tinggal dan lahan pertanian mereka. Masalah tanah menjadi isu yang sangat sensitif, karena kepastian hukum atas lahan yang mereka tempati tidak ada sampai saat ini. Tidak adanya kepastian hukum mengandung potensi pengusiran dan pengungsian kesekian kalinya bagi pemukim eks pengungsi konflik Aceh. Pengusiran dan pengungsian kesekian kalinya adalah peristiwa yang berusaha dijauhkan oleh pemukim eks pengungsi konflik aceh dari kosa kata pembicaraan mereka sehari-hari.
Ketidakpastian ini juga membawa pengaruh yang tidak sedikit bagi anak-anak pemukim eks pengungsi konflik Aceh. Untuk sebagian besar anak-anak pemukim di Barabaraunte, tamat SD menjadi jenjang pendidikan tertinggi yang bisa dicapai. Setelah itu, hampir tidak ada kemungkinan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi lagi, baik karena keterbatasan biaya, juga keterbatasan akses pendidikan di relokasi. Apa yang terjadi selanjutnya adalah anak-anak usia sekolah namun tidak bersekolah, kembali meniru orang tua ikut dalam lingkungan mocok-mocok. Kondisi yang sama juga bisa kita temukan dengan anak-anak di Sei Minyak. Untuk anak-anak pemukim di Barak Induk memiliki pengalaman yang sedikit berbeda. Dari segi akses pendidikan, anak-anak di Barak Induk dengan mudah pergi ke sekolah yang didirikan secara swadaya oleh masyarakat Barak Induk di lokasi pemukiman. Kesulitan timbul ketika sekolah mereka belum mendapat pengakuan dari pihak pemerintah. Ketidakpastian status sekolah mengakibatkan orangtua murid juga harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit agar sekolah di desa tetangga yang sudah diakui pemerintah bersedia mengikutkan mereka dalam ujian nasional dan ijazah resmi pemerintah.
Berbeda dengan tiga lokasi yang lain, pemukim eks pengungsi konflik aceh yang tinggal di Kab. Simalungan di empat desa (Desa Marjandi, Desa Karanganom, Desa Raya Besi dan Desa Simpang Raya) sebagian besar memiliki tanah tempat tinggal yang relatif aman dari sengketa. Dana terminasi yang diberikan oleh pemerintah, mereka pergunakan untuk membeli tanah dan membangun rumah sederhana sebagai tempat tinggal. Mereka hidup dan tinggal menyebar diantara para warga setempat dan tidak mendapat diskriminasi untuk mengakses fasilitas pemerintah seperti pendidikan, kesehatan, administrasi kependudukan dan hak dalam partisipasi politik. Sebagian lagi ada yang tinggal di rumah milik perkebunan. Permasalahan muncul ketika para pemukim tidak memiliki modal untuk memulai pekerjaan/usaha sendiri untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Akhirnya mereka memilih hidup dalam mocok-mocok hari demi hari.
Hidup dalam mocok-mocok juga bisa menjadi ancaman pengungsian berikutnya, bila para pemukim tidak bisa lagi hidup dengan layak di tempat yang sekarang. Hal ini sudah terjadi dengan beberapa pemukim yang sempat tinggal bersama-sama dengan para pemukim di lokasi mapping. Menurut penuturan para pemukim, tidak jarang ada yang memilih “mengungsi” lagi karena tidak tahan hidup mocok-mocok lalu pindah ke tempat lain seperti Dumai, Riau dan Jambi, dengan harapan bisa memperbaiki kualitas hidup. Melihat berbagai kondisi yang terlukiskan melalui kata “mocok” ini timbul pertanyaan: apakah memang tidak ada kepastian dalam hidup “mocok” yang kini dilakoni oleh para pemukim eks pengungsi Aceh di Sumatera Utara?
Di tengah berbagai kondisi ketidakpastian yang timbul akibat hidup dalam mocok, ada sebuah kepastian yang diungkapkan langsung oleh para pemukim eks pengungsi konflik Aceh selama mapping ini, bahwa mereka pasti tidak akan memilih kembali ke Aceh. Ada banyak alasan yang terungkap ketika para pemukim tidak lagi memilih kembali ke Aceh. Ada mimpi yang terhenti di sana dan tidak ingin terulang lagi, tidak mau mengenangnya lagi bahkan berusaha mengubur. Hanya sedikit orang saja yang mencoba melihat harta bendanya di Aceh dulu, berharap bisa dapat sedikit ganti rugi atau jual cepat asset yang masih tersisa kepada warga Aceh. Di atas semuanya itu, mocok juga bisa menjadi daya hidup, sebuah tehnik untuk survive berhadapan dengan berbagai kesulitan dan pergulatan untuk berdamai dengan pengalaman pahit masa lalu.