Melangkah Bersama Pengungsi: Cerita Ajeng Anggraeni dari Cisarua ke Forum Regional

21 Juni 2025|Fahrian Saleh

Bekerja di isu kemanusiaan, khususnya soal pengungsi, bukanlah cita-cita yang sejak awal diimpikan oleh Ajeng Anggraeni Putri. Bahkan, selama kuliah di salah satu universitas ternama di Yogyakarta, isu ini nyaris tak pernah ia dengar.

Semuanya berubah pada tahun 2020. Saat itu, Ajeng yang sedang menyudahi masa istirahat dari dunia kerja (career break), mulai mencari pekerjaan. Ia tak mencari sesuatu yang mewah—yang penting, pekerjaan itu bermakna dan bisa memberi manfaat bagi banyak orang. Seolah berjodoh, ia menemukan posisi sebagai Field Officer di Jesuit Refugee Service (JRS) Indonesia dan ditempatkan di area Bogor.

Pekerjaan itu menjadi titik balik. Bekerja mendampingi para pengungsi luar negeri di Indonesia membuka matanya terhadap kompleksitas dan urgensi isu ini.

Ajeng memimpin sesi ice breaking bersama komunitas pengungsi

Saat mulai bekerja, membantu pengungsi adalah hal baru buat aku. Isu ini memang tidak terlalu populer, jadi banyak yang belum tahu. Belum lagi dengan permasalahannya yang cukup kompleks—isu ini berbeda dari yang lain,” ujar Ajeng.

Sehari-hari, perempuan kelahiran 1995 ini turun langsung ke lapangan, mengunjungi kelompok pengungsi yang tinggal di rumah kontrakan atau kos-kosan di Cisarua, kawasan Puncak Bogor. Mayoritas berasal dari Afghanistan, Pakistan, Somalia, Irak, dan Sudan. Dari interaksi itu, Ajeng menyadari pentingnya keterlibatan masyarakat dan pemangku kepentingan dalam merespons isu pengungsi.

Kenapa harus disuarakan? Karena belum banyak yang paham betul soal ini. Banyak orang menganggap pengungsi itu imigran. Di Bogor, orang-orang tahunya begitu. Padahal dunia sekarang menunjukkan tren jumlah pengungsi makin meningkat, belum lagi soal isu proteksi.”

Menurut Ajeng, banyak pengungsi di Indonesia sebenarnya memiliki keterampilan yang, jika diberdayakan, bisa membawa manfaat besar—bukan hanya untuk mereka sendiri, tapi juga untuk masyarakat lokal di sekitarnya.

Mereka ini punya skill, banyak orang yang enggak tahu soal itu. Kalau diberi kesempatan, mereka bisa mendorong pertumbuhan ekonomi lokal. Misalnya, kemampuan berbahasa Inggris, komunikasi, desain grafis, fotografi, bahkan caregiver. Itu bisa banget dimanfaatkan untuk pendidikan dan ekonomi di tingkat desa,” jelasnya.

Kecintaan Ajeng pada pekerjaannya membuatnya terus semangat menyuarakan isu pengungsi. Pada April 2025, dedikasinya membuahkan kepercayaan dari JRS Indonesia untuk mewakili lembaga dalam Journey of Nam Workshop: Navigating Safe Migration Pathways for Children in ASEAN di Kuala Lumpur, Malaysia.

Di forum regional itu, Ajeng mempresentasikan pengalaman JRS dalam pendekatan case management dan community empowerment, termasuk pengalaman mendampingi anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) di komunitas pengungsi.

Mewakili Indonesia bicara soal anak, khususnya anak berkebutuhan khusus dalam konteks pengungsi, adalah pengalaman berharga. Forum ini menjadi ruang bagi negara-negara ASEAN untuk berbagi pengalaman, tantangan, dan praktik baik dalam menangani isu anak dalam konteks migrasi,” paparnya.

Ajeng menyoroti kerentanan ganda yang dialami anak-anak pengungsi dengan kebutuhan khusus. Berdasarkan pengalamannya, ada dua hambatan utama: keterbatasan akses sumber daya dan kendala bahasa.

Mereka kelompok paling rentan karena aksesnya terbatas. Kasus ini dua kali lebih rentan dibanding anak lokal. Tantangan pertama adalah keterbatasan sumber daya—kadang ada pihak yang melihat status mereka dulu sebelum membantu. Tantangan kedua soal bahasa. Minimnya jembatan komunikasi membuat pendampingan lebih sulit.”

Ajeng juga menjelaskan peran JRS dalam memastikan organisasi komunitas pengungsi (Refugee Led Organizations/RLOs) yang didampingi JRS dapat mengakomodir anak-anak berkebutuhan khusus. Di wilayah Bogor, terdapat sekitar 10 RLO dan RLI yang menjadi mitra pendampingan JRS.

Isu ini sangat kompleks dan harus terus disuarakan. Harus ada banyak pihak yang terlibat dan peduli. Salah satu tindak lanjut dari workshop ini adalah berbagi sumber daya dan membentuk forum lintas negara untuk mendiskusikan isu ini secara berkelanjutan,” katanya.

Ajeng berkomitmen untuk terus mendampingi pengungsi di lapangan dan mendorong keluarga mengenali kebutuhan anak-anak mereka, termasuk pemahaman soal autisme, ADHD, dan bagaimana menghadapi anak-anak dengan kebutuhan khusus.

Semaksimal mungkin aku akan tetap mendampingi pengungsi dan mendorong keluarga mencari tahu kebutuhan anaknya.

Ajeng bersama kelompok Indonesia di Journey of Nam Workshop: Navigating Safe Migration Pathways for Children in ASEAN Kiri-Kanan: Anjeli (Asia Family First), Ajeng (JRS), Joshua (HOST Malaysia), Wisnu (YCWS), Surya (Yayasan Geutanyoe), Angga-peserta (SUAKA), Khadija (Asia Family First)

Bagi Ajeng, roh dari Journey of Nam Workshop adalah kolaborasi lintas batas—tempat para praktisi dari berbagai negara belajar dari satu sama lain, membagikan alat, metode, dan tantangan dalam mendampingi anak-anak migran. Salah satu benang merah dari diskusi tersebut adalah minimnya political will dari negara-negara ASEAN dalam menangani isu migrasi anak secara serius.

Menjelang Hari Pengungsi Sedunia di bulan Juni ini, Ajeng mengajak masyarakat untuk membangun solidaritas yang lebih dalam. Hari Pengungsi, baginya, bukan hanya momen pengingat bahwa para pengungsi itu ada, tetapi juga seruan moral untuk mengenal mereka lebih dekat—mendengarkan kisah mereka, memahami perjuangan mereka, dan menanggalkan prasangka.

“I hope people find a safe place in their home country where they can create and pursue their dreams. I hope people are willing to listen more and open to a discussion where they can respect, trust, and understand each other.”

Ajakan ini bukan semata tentang empati. Ini adalah tentang membangun dunia yang lebih adil—tempat di mana setiap manusia, termasuk anak-anak yang terpaksa mengungsi, punya hak yang sama untuk bermimpi dan hidup dengan bermartabat.