Kurangnya Ruang Berbagi tentang Kebencanaan bagi Perempuan

15 Februari 2015|Daryadi Achmadi

Pengetahuan tentang pengurangan risiko bencana (PRB), bagi Ibu Rafnaini (38) sebenarnya sesuatu yang baru yang ingin disampaikan kepada kelompok perempuan di gampongnya (desa). Namun forum untuk itu tidak ada karena kegiatan PKK di Gampong Panjupian tempat dia tinggal bisa dikatakan mandeg. Sebagai bendahara PKK yang telah mengikuti pelatihan perencanaan gampong berperspektif pengurangan risiko bencana yang diadakan JRS pada Desember 2009 lalu, dia tidak tahu harus menyampaikan pengetahuan tersebut melalui forum apa.

Lain halnya dengan Ibu Martina (46), janda satu anak yang mengikuti pelatihan mewakili kelompok rentan, mengaku sering mengobrolkan masalah ancaman bencana dengan kelompok sebayanya di warung maupun saat berkumpul dengan kelompok rentan yang memelihara itik. Martina bahkan juga berani mengusulkan kepada kepala Lorong Hilir, agar gorong-gorong di pinggir jalan dekat rumahnya diperbaiki. Gorong-gorong itu terlalu kecil sehingga jika hujan lebat pasti akan meluap dan memicu banjir masuk ke rumahnya.

”Paling-paling kami sampaikan lewat pengajian wirid Yasin. Tapi di situ terkadang tak ada kesempatan,” ujar Rafnaini, yang sehari-harinya adalah penjahit. PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) di Gampong Panjupian, Kecamatan Tapaktuan, selama ini tidak berjalan. Paling hanya ada pertemuan 6 bulan sekali. Sementara kegiatan rutin seperti pertemuan bulanan sejak masa konflik tidak pernah ada lagi.

Rafnaini sebenarnya termasuk ibu yang aktif dalam berkegiatan di desanya, mulai dari wirid yasin, arisan ibu-ibu, dan juga Dasa Wisma. Namun selama ini forum-forum itu kurang memberi ruang untuk menularkan pengetahuan tentang kebencanaan. ”Kalau arisan paling kumpul uang, wirid yasin langsung mengaji. Dasa Wisma punya kegiatan nyata jika ada warga yang meninggal untuk memberi nasi rantangan kepada pihak yang berduka,” papar Ibu yang drop-out SMEA Tapaktuan itu. Menurutnya, kegiatan PKK tampak sibuk jika mau dilombakan. Seperti Gamawar (gampong mawadah warohmah = gampong tentram dan sejahtera), Gampong Air Pinang, gampong tetangga yang bulan lalu menang lomba. ”Saya tidak tahu, di sini tidak ada yang mau aktif. Jangankan disuruh ikut lomba, untuk kumpul saja sulit,” kata Rafnaini.

Ibu Rafnaini mengaku sudah paham dengan ancaman yang ada di gampongnya, seperti banjir, longsor, dan abrasi pantai. Sebagai ibu rumah tangga, dia berupaya menerapkan pengetahuan itu dengan perilaku positif, seperti tidak membuang sampah sembarangan serta membersihkan saluran pembuangan di sekitar rumahnya.

”Kadang-kadang saya ngobrol dengan sesama ibu rumah tangga saat di warung tentang bahaya banjir dan juga tanah longsor di sekitar sini,” jelas ibu dua anak itu. Bersuamikan Sukri, dia tinggal di Dusun Hilir yang terletak di ujung desa berbatasan dengan lapangan dan gunung. ”Dulu memang pernah ada banjir di gampong ini, tapi di dusun lain yang berada di bawah,” katanya.

Lain halnya dengan tindakan yang dilakukan Martina, Rumahnya terletak di daerah yang cukup rawan karena letaknya di hilir, dekat aliran sungai, dan berada sekitar 300 meter dari bibir pantai. Setidaknya dia sudah paham akan pentingnya saluran pembuangan di sekitar rumahnya. Sehingga jika hujan aliran air bisa lancar. Dia juga paham akan ancaman di dusunnya. Meski sungainya kecil, namun jika arus dari gunung kuat akibat hujan yang lebat, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi banjir.

Dari hasil pelatihan selama enam hari di Tapaktuan, Martina juga tahu akan tanda-tanda banjir dan juga kesiapsiagaan yang harus dilakukan.

”Jika hujan selama dua hari dan batu-batu gunung mulai jatuh, berarti itu tanda-tanda mau banjir besar dan sungai belakang rumah saya pasti akan meluap,” jelas Martina, ibu satu putra yang telah dewasa yang sehari-hari menjadi buruh cuci di gampongnya. Dia juga mengaku punya pengalaman lari ke gunung pada malam hari, saat gempa besar terjadi di Nias bulan Maret 2005. Rumahnya yang berada dekat bibir pantai, membuatnya selalu waspada jika ada gempa. Martina juga mulai menyadari akan pentingnya menjaga sungai, tidak mengambil batu serta pasir dari sungai, dan juga arti pentingnya menjaga pohon-pohon di gunung. Tapi dia mengaku tidak bisa berbuat banyak. Paling-paling pengetahuannya dibagikan kepada sesama kelompok rentan yang didampingi JRS sejumlah sembilan orang perempuan.

 Pengalaman konflik

Gampong Panjupian yang terletak di tepi pantai dan diapit pegunungan ini relatif dekat dengan Kota Tapak Tuan, sekitar 8 Km. Dibanding gampong lain di wilayah Kluet maupun Pasie Raja, memang dampak konflik di gampong ini tidak terlalu menonjol . ”Perasaan takut pasti ada, apalagi sebelum ada pos, kita harus baik-baik dengan orang-orang yang datang dari gunung,” Dulu sebelum ada pos, orang gunung sering mampir minta makan atau beras untuk dibawa ke gunung,” cerita Rafnaini. Kebetulan rumah Rafnaini dekat sekali dengan gunung. Jadi begitu orang gunung turun, rumah dialah yang pertama ditemui.

Pengalaman yang sama juga dirasakan Ny. Martina, yang rumahnya dekat jalan raya. Saat konflik terjadi, yang ada rasa takut dan khawatir, serta kesulitan untuk pergi ke kota.

Namun kondisi itu berubah setelah ada pos militer di pinggir gunung. Kondisi gampong menjadi lebih aman dan orang gunung pun jarang turun. Malah bagi Rafnaini, saat konflik ada sedikit rejeki karena sering mendapat pekerjaan menjahit dari prajurit TNI, seperti menjahit nama, simbol, ataupun pangkat. Ada yang sangat berubah saat sebelum konflik dengan masa sesudah konflik berkaitan dengan usaha jahit Rafnaini. Dulu jahitannya cukup laris, karena ekonomi lancar khususnya saat pala dan nilam masih menjadi andalan. Sekarang menurutnya ekonomi tidak lancar karena orang-orang gampong kurang penghasilannya. Penyebabnya adalah banyaknya pohon pala yang mati dan murahnya harga jual minyak nilam.

Demikianlah bahwa ternyata masih ada celah sosial budaya besar yang tertinggal pada saat ini bagi kaum perempuan khususnya di wilayah pedesaan untuk mengambil peran sebagai pendidik masyarakat tentang kebencanaan. Ketidakmatangan organisasi yang bisa mewadahi aspirasi para perempuan maupun untuk mempercepat proses penyebaran informasi juga masih menjadi kesulitan tersendiri bagi perempuan untuk berpartisipasi di masyarakatnya yang memang masih bercorak patriarki seperti di Aceh Selatan.