Jejak Kenangan di Indonesia, Harapan Baru di Kanada

21 Juni 2025|Fahrian Saleh

Siang itu, Jakarta terasa lebih bersahabat. Matahari tidak terlalu menyengat, langit teduh, dan angin sesekali berembus lembut di sekitar sebuah mal di Selatan Jakarta.

Dari arah pintu masuk, dua sosok muda muncul—wajah mereka tampak asing, tapi memancarkan semangat dan keceriaan. Mereka menyapa hangat orang-orang yang mereka kenal. Salah satunya melambaikan tangan sambil berseru, “Hei, apa kabar kalian? Sudah lama kita tidak bertemu.”

Itulah Ali (bukan nama sebenarnya), pengungsi asal Afghanistan berusia 22 tahun. Di sampingnya, sang adik, sama tingginya, sama santainya. Kali ini, mereka datang untuk bertemu staf JRS Jakarta—barangkali untuk yang terakhir kalinya sebelum memulai hidup baru di negara ketiga. “Akhirnya setelah hampir enam tahun di Indonesia, aku akan berangkat ke negara ketiga. Semua persiapan sudah selesai: medical check-up, tiket untuk aku dan adikku juga sudah keluar,” kata Ali sambil tersenyum.

Negara tujuan mereka: Kanada. Negeri berlogo daun maple itu akan menjadi tempat berlabuh untuk masa depan yang baru. “Kelas pembekalan hidup di Kanada sudah selesai. Rute keberangkatan kami dari Jakarta ke Toronto, lewat Dubai. The weather in there is spring, like Bogor,” ujarnya.

Kalau aku mau bawa matras, dan aku juga akan beli bumbu nasi goreng sachetan dari Indonesia. Itu makanan favoritku.” Jika kelak rindu dengan cita rasa Indonesia, Ali sudah tahu solusinya: memasak nasi goreng. “Kita akan bawa bumbu dari sini. Itu akan sangat berarti, apalagi di sana semuanya serba mahal,” katanya sambil mencolek adiknya. Biasanya, mudah menemukan bumbu tersebut di warung atau toko-toko kelontong di sekitar kos yang disewanya daerah Tebet, Jakarta Selatan

Ali juga membayangkan apa yang akan ia lakukan setibanya di Kanada. “Aku ingin mencari taman. Aku ingin berjalan kaki mengelilinginya tanpa memikirkan apa pun. Hanya menikmati angin, alam, dan kebebasan.” Di negara baru itu, mereka akan melanjutkan pendidikan dan mengejar cita-cita yang tertunda. “Aku punya rencana belajar di university. Aku akan ambil manajemen. Aku tahu jalanku masih panjang. Insyaallah, aku punya banyak kesempatan untuk belajar.”

Kenangan yang Tertinggal

Di balik rasa bahagia, terselip haru. Ada jejak kenangan yang tertinggal di Indonesia: pertemanan, perjuangan, dan pelukan hangat. “Aku akan merindukan kalian, JRS. Kalian seperti keluarga kedua. Kalian selalu mendengarkan dan memahami aku. Aku juga akan rindu teman-teman dari UNHCR, YCWS,” kata Ali.

Selama di Indonesia, Ali aktif mengikuti berbagai kegiatan. Ia bahkan pernah menjadi pembicara dalam forum anak muda peduli pengungsi. “Aku bahagia. Di masa terendahku, aku sadar harus bangkit. Aku ikut kelas pengembangan diri, bertemu teman-teman yang memberiku motivasi dan ilmu. Aku belajar komunikasi sosial, dan cara mengelola perasaan.” Semua pengalaman itu menjadi bekal menuju kehidupan baru.

Pesan untuk Sesama Pengungsi

Ali sadar, banyak pengungsi lain masih menunggu, terjebak dalam ketidakpastian. Ia pun pernah merasa begitu. “Aku capek banget. If you sad or happy, the end is nothing. Waiting many years, what will be happen? Aku memikirkan itu ribuan kali selama masa tunggu di sini,” ungkapnya.

Namun ia menemukan pelajaran besar: menerima keadaan. “This the fact that you have to accept. Kalau nggak terima, otakmu akan berontak. When I reject something, my mind is fighting. Aku nggak bisa tidur, sampai mimpi buruk.”

Ia pun menyarankan sesama pengungsi untuk aktif mengisi waktu. “Another Ali, you still have opportunity. During this time, you can learn many things—language, skill, belajar menerima. Dulu aku sering bangun tengah malam hanya untuk berpikir: kapan ini berakhir? Tapi menjadi refugee mengajarkan aku sabar. Hal indah akan datang. Mungkin cuma butuh waktu,” pesannya.