Jalan Panjang Menuju Kebebasan dan Kedamaian
09 Agustus 2012|JRS Indonesia
Saya bertemu Mahani (bukan nama sebenarnya) di rumahnya di Indonesia. Ia sedang bersiap untuk makan siang bersama tiga anaknya yang berumur 13 tahun, 7 tahun, dan 6 tahun. Ia menyediakan bagi kami makan siang vegetarian, karena orang Sri Lanka tidak mengonsumsi daging pada hari-hari tertentu. Di rumahnya yang kecil, ia menghabiskan hari-harinya dengan merawat keluarganya dan menunggu.
Ia menunggu badan PBB untuk pengungsi (UNHCR) untuk memutuskan apakah ia diterima sebagai pengungsi ataukah tidak dan dapat ditempatkan di sebuah negara baru untuk memulai hidupnya kemudian.
Sementara tinggal di Indonesia, ia mempelajari keterampilan-keterampilan baru seperti membuat kerajinan tangan, pakaian dan tas bermanik-manik bersama Church World Service selama beberapa bulan yang lalu. Ia juga belajar bahasa Inggris dan computer. Sambil duduk di depan computer di Villa 666, sebuah tempat bagi para pencari suaka dan pengungsi yang dikelola oleh World Relief, ia mulai menuliskan kisahnya. Inilah yang dia tulis.
Ketika masih kecil, saya memiliki lima saudara laki-laki dan dua saudara perempuan. Namun dua i saudara laki-laki saya telah dibunuh oleh tentara Sri Lanka.
Ketika saya masih muda, saudara laki-laki saya membantu saya belajar dan saudara perempuan saya membantu saya mengerjakan segala sesuatu di rumah. Saya memiliki hidup yang baik dan masa kecil yang bahagia. Pulang dari sekolah, saya pergi untuk belajar mengetik, music dan stenografi.
Saya menikah pada tahun 1996. Saya sangat mencintai suami saya. Dia sangat tampan. Orangtua saya tidak menyetujui pernikahan kami sehingga mertua sayalah yang menerima kami. Setelah kami memiliki tiga orang anak, ibu mertua saya bekerja di ladang untuk menabung bagi biaya pendidikan anak-anak kami. Kami adalah keluarga bahagia.
Pada tahun 2009, sebuah bom menghancurkan desa kami. Tentara Sri Lanka berperang melawan tentara pembebasan Macan Tamil dari Eelam dan masyarakat Tamil telah dihancurkan.
Suami saya terbunuh oleh bom tersebut. Hati saya hancur. Anak lelaki saya baru berumur 10 tahun, sementara dua anak perempuan saya berumur 3 dan hampir 2 tahun. Kami semua sangat sedih.
Saya bekerja sebagai juru ketik untuk menghidupi keluarga saya, namun rumah kami dihancurkan oleh bom kemudian. Kami lalu hidup di kamp bersama dengan setengah juta orang yang lain. Bersama anak-anak, saya tinggal di tenda selama tiga bulan. Anak-anak saya menjadi sakit parah dan saya menghubungi ibu saya untuk mengungsi bersamanya.
Kami mengungsi ke komunitas ibu saya dan anak-anak saya dapat tinggal di rumah dan pergi ke sekolah. Segala sesuatu menjadi lebih baik. Namun kemudian, tentara Sri Lanka mendatangi rumah kami yang baru dan membawa saya pergi. Mereka menyiksa saya karena mereka menganggap saya memiliki informasi yang berguna bagi mereka. Mereka meminta saya untuk menjadi penerjemah dan juru ketik bagi mereka tetapi saya menolak.
Kami harus meninggalkan desa ibu saya. Saya tahu bahwa tentara akan selalu datang mencari saya. Dan saya tahu betapa berbahayanya menjadi janda dalam situasi yang demikian. Maka saya mengemasi semua barang saya dan pergi ke Malaysia menggunakan pesawat bersama anak-anak saya. Dari sana kami naik perahu ke Indonesia.
Meskipun selamat dari tentara, segala sesuatunya sangat buruk di sini. Rumahnya sangat kecil dan biaya sewanya mahal. Saya bisa melihat bahwa anak-anak saya tidak bahagia. Mereka tidak dapat pergi ke sekolah.
Saya tahu bahwa saya adalah ibu yang baik namun kadang-kadang saya menjadi sangat marah dan itu menimbulkan ketegangan di rumah kami. Setiap hari saya bangun sangat pagi dan memasak, pergi ke kelas dan tidur. Saya harus mengerjakan segala sesuatu sendiri.
Saya menantikan hari di mana kami dapat pergi ke suatu negara baru. Di masa depan, saya mengharapkan anak-anak saya memiliki kehidupan yang bebas dan penuh kedamaian. Saya ingin mereka memiliki pekerjaan yang baik dan masa depan yang baik. Mereka telah mengalami banyak hal.
Merekalah yang paling penting dalam hidup saya.