Indahnya Solidaritas
08 Juni 2010|Theresia Kushardini
Hujan rintik-rintik mengiringi kedatangan tim JRS dan UNPAR (Universitas Katolik Parahyangan Bandung) di rumah Pak Suherman (Mang Akung) tanggal 20 Mei 2010. “Selamat datang,” sambut Mang Akung dengan muka berseri-seri mempersilakan kami memasuki rumahnya di Kecamatan Takokak, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. “Saya tidak dapat mengucapkan apapun untuk JRS, yang jelas sekarang saya sudah tenang. Kemarin (18/05) ketika terjadi gempa, saya di dalam rumah ini tidak merasa takut. Padahal kata tetangga-tetangga gempanya cukup besar. Tetapi di dalam rumah ini goyangannya tidak membuat kami panik. Kami dapat keluar rumah dengan tenang sambil terus melihat umpak,” kata Mang Akung.
Begitulah kalimat yang sering terucap dari masyarakat yang dilayani dalam program JRS Tanggap Gempa Jawa Barat saat kunjungan akhir Tim JRS dan UNPAR. Cerita trauma dan kesedihan karena kehilangan rumah yang terucap sewaktu kunjungan silaturahmi JRS paska gempa tanggal 12 September 2009 sudah tidak terdengar lagi. Yang terungkap hanyalah rasa syukur dan kesibukan kegiatan renovasi dan pembangunan rumah. Cerita-cerita lucu saat proses pembangunan rumah mewarnai dinamika pelaksanaan program; sebagai contoh adalah persoalan tradisi daerah setempat. Tradisi di daerah Takokak saat awal mendirikan rumah adalah sang pemilik rumah akan menyembelih ayam kampung dan meneteskan darahnya di tiap sudut lokasi pembangunan rumah. Melihat darah yang berceceran di lokasi pembangunan, fasilitator lapangan JRS sempat panik dan menyangka telah terjadi kecelakaan. Untunglah tuan rumah segera menjelaskan. Adanya staf lokal yang memahami Bahasa Sunda dan tradisi setempat mempermudah komunikasi karena rata-rata baik tukang maupun warga masih sulit berkomuniasi dalam Bahasa Indonesia.
Apresiasi positif warga terhadap program JRS secara teknis memperlancar proses pembangunan rumah. Meski pembangunan 25 rumah yang secara geografis terpencar relatif jauh dan sulit dijangkau kendaraan roda empat, namun pembangunan dapat diselesaikan dalam waktu 75 hari.
Para tukang bangunan profesional dari daerah setempat biasanya menerima Rp 45.000,-/hari sementara kepala tukang Rp 50.000,-/hari plus makan, rokok, dan kudapan. Namun demi program kemanusiaan ini mereka rela menerima Rp 40.000,-/hari untuk tukang dan Rp 45.000,-/hari untuk kepala tukang. Itupun dengan makan seadanya semampu sang empunya rumah.
“Kalau ditanya dukanya, namanya bekerja ya tentu ada, tetapi lebih banyak sukanya,” ujar Pak Eman sebagai juru bicara tukang. “Yang jelas program JRS ini beda dengan yang biasanya kami kerjakan. Awal-awal agak berat juga karena belum biasa, misalnya untuk menbuat tekuk tahan gempa pada begel.”
“Capai kami rasanya hilang kalau rumah sudah selesai dan tuan rumah merasa puas,” tambah para tukang.
Selain tukang professional, proses pembangunan rumah juga dibantu laden tukang dari tuan rumah, saudara atau tetangga masyarakat dampingan. Sistem gotong-royong ini merupakan kekayaan sosial masyarakat yang terus dibangun untuk menghadapi “bencana-bencana” di masa datang. Keterbukaan Tim JRS membuka peluang bagi warga masyarakat untuk ikut berpartisipasi dan bertanggungjawab terhadap program. Rasa memiliki dalam masyarakat membuat kesulitan-kesulitan di lapangan dapat teratasi bersama. masyarakat dampingan, tukang, penyedia bahan bangunan yang semuanya warga masyarakat setempat memperlancar proses pembangunan. Semua pihak merasa berperan dalam usaha kemanusiaan.
Sore hari saat tim JRS pulang ke base camp dengan perut lapar dan dinginnya udara, tiba-tiba ada tukang yang mengantar hasil kebun atau kerupuk hasil masakan istri mereka. Tradisi masyarakat agraris relasi semacam ini bukanlah relasi “memberi-menerima” melainkan rasa kekerabatan dan berbagi dengan pendatang (dalam hal ini tim JRS). Para tukang yang rata-rata adalah petani, setiap kali panen selalu membagikan hasil kebunnya. Mereka merasa bahwa ‘hanya itu’ yang dapat disumbangkan padahal mereka merasa mendapat banyak ilmu setelah ikut program. Mengikuti kuliah tentang bambu di Universitas Parahyangan Bandung tanggal 27 Januari 2010 merupakan kenangan yang sangat berarti bagi mereka. “Pernah duduk di bangku universitas bersama dosen-dosen dan mahasiswa, walau kepala pusing karena AC,” begitu canda para tukang dengan bangga.
Kadang para tukang membawa bekal sendiri saat membangun rumah bagi warga yang kurang mampu.
Saling mendukung dan berbagi membuat teknis pelaksanaan program menjadi lancar. Tukang, masyarakat dampingan, dan tim JRS saling terkait satu sama yang lain. Bahkan kadang masyarakat setempat di sekitar masyarakat dampingan juga dengan sukarela memberikan bantuan. Contohnya sewaktu mengerjakan rumah Bapak Uci di Desa Pasawahan, para tetangga bergantian mengirim makanan untuk para tukang.
“Secara singkat dapat dikatakan bahwa melalui program ini, kita dapat merasakan dan melihat indahnya solidaritas dalam masyarakat,” demikian dikatakan Dini, staf JRS Nasional yang menemani program JRS untuk Kecamatan Takokak.