Hentikan Pendetensian Anak
15 April 2022|Sylvester Gultom
“Kami terpaksa lari dari rumah secara sembunyi-sembunyi. Untuk sementara istri saya masih tinggal di Srilanka. Kami takut, mereka akan menculik dan membunuh kami. Terutama saya takut kalau mereka akan menculik anak saya dari sekolah. Maka saya lari bersama anak saya,” cerita Magedara, 50 tahun, ayah dari Lavindra. Tinggal di rudenim merupakan pengalaman yang sulit bagi Lavindra. ”Di sini tidak enak, tidak bisa sekolah dan bermain ke mana-mana. Makanan tidak enak, saya tidak bisa tidur bersama mama”.
“Anak saya selalu merindukan mamanya, setiap hari ia bilang ingin pulang dan mau dekat dengan mamanya. Ia ingin sekolah lagi bersama teman-temannya seperti dulu. Saya berharap dia bisa bertemu mamanya secapatnya, di mana pun tempatnya, sekalipun harus bertemu di Rudenim,” kata Magedara tentang anaknya.
Kisah pelarian Lavindra dan ayahnya adalah salah satu dari sekian banyak kisah lain yang membuat anak-anak yang masih polos dan lugu itu, meninggalkan kampung halaman dan teman bermainnya, meninggalkan sekolah dan mimpi tentang cita-citanya. Ancaman persekusi hingga pelanggaran HAM yang serius, ketiadaan jaminan perlindungan dari pemerintah, dan trauma yang membuat enggan untuk kembali lagi, telah memaksa mereka menempuh perjalanan penuh tantangan hingga akhirnya merasakan Rudenim yang penuh sesak.
Selain Lavindra, ada banyak anak lain yang tinggal di Rudenim. Misalnya, Mohammad (Myanmar, 7 tahun), Ra’idah (Srilanka, 8 tahun), Aisah (Myanmar, 8 tahun), dan yang lainnya, yang jumlahnya sekitar 30 anak. Mereka selalu mengungkapkan kerinduannya untuk bermain bersama teman-temannya dan untuk pergi ke sekolah, belajar matematika, belajar menggambar dan banyak keinginan lain. Semua kerinduan itu sekarang tertahan di Rumah Detensi Imigrasi.
Tinggal di Rudenim bagi anak-anak pengungsi dan pencari suaka, merupakan mimpi buruk yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Rudenim yang berkapasitas 80-100 orang, kini dihuni oleh lebih dari 258 orang dari berbagai Negara. Kaki lima dan semua ruang yang terhindar dari hujan serta terik matahari menjadi pilihan satu-satunya untuk tempat tinggal bagi para deteni yang kurang beruntung dan tidak mendapat kamar di Rudenim. Berbagai persoalan lain muncul karena situasi ini, mulai dari persoalan air dan sanitasi hingga tempat untuk menjemur, mencuci, mandi, minum dan menyimpan barang-barang. Sekarang ini Rudenim sangat kumuh. Di situlah anak-anak hidup dan bermain, menonoton televisi, membaur dengan ratusan orang yang mayoritas dewasa dan laki-laki, yang sewaktu-waktu dapat menimbulkan bahaya bagi anak-anak itu.
Penempatan anak-anak di Rumah Tahanan Imigrasi, tampaknya tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Negara-negara lain, banyak juga anak-anak yang mengalami nasib sama. International Detention Coalition (IDC), sebuah jejaring lembaga nirlaba yang secara khusus memberi perhatian kepada perlindungan hak-hak para pengungsi dan pencari suaka di Rumah Detensi Imigrasi, sejak Maret 2012 lalu telah melaksanakan berbagai kegiatan untuk mendorong Negara-negara mengakhiri pendetensian bagi anak-anak. IDC bersama jejaring di berbagai Negara termasuk JRS Indonesia mendorong agar pendetensian anak-anak segera dihentikan karena hal itu membuat anak-anak menjadi lebih rentan. Anak-anak di dalam detensi akan mengalami berbagai gangguan bagi pertumbuhan pribadinya, baik itu gangguan fisik maupun kejiwaan. Banyak anak tidak didampingi oleh orangtua atau keluarga yang merawatnya sehingga mereka rentan mengalami kekerasan seksual dan tidak mendapatkan layanan kesehatan yang memadai maupun layanan pendidikan.
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-hak Anak Tahun 1989, pasal 22 (1) menyatakan “Negara-negara Pihak harus mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menjamin bahwa seorang anak yang sedang mencari status pengungsi atau yang dianggap sebagai pengungsi, sesuai dengan hukum dan prosedur internasional atau domestik yang berlaku, apakah tidak diikuti atau diikuti oleh orang tuanya atau oleh orang lain mana pun, harus menerima perrlindungan yang tepat dan bantuan kemanusiaan dalam perrolehan hak-hak yang berlaku yang dinyatakan dalam Konvensi ini dan dalam instrumen-instrumen hak-hak asasi manusia atau kemanusiaan internasional yang lain, di mana Negara-negara tersebut merupakan pesertanya.” Karena Indonesia merupakan negara pihak dari konvensi ini, mengeluarkan anak-anak dari detensi dan menyediakan ruang yang lebih ramah bagi mereka, agar seluruh hak-haknya yang dijamin oleh Konvensi Internasional itu terpenuhi, merupakan keharusan yang tak dapat ditawar. Hentikan pendetensian anak sekarang juga!!