Harapan yang Tak Pernah Padam: Perjalanan Bibi Rahima Farhangdost
23 Oktober 2025|Fahrian Saleh
Sebelas tahun lalu, pada 2014, seorang perempuan muda dengan hati penuh harapan dan keberanian meninggalkan kampung halamannya di Afghanistan—sebuah negeri yang porak-poranda akibat konflik tiada henti. Ia pergi bukan karena keinginan, tetapi karena terpaksa memilih antara bertahan dengan risiko kehilangan nyawa atau mencari keselamatan di tempat baru.
Dengan tekad untuk hidup lebih baik dan menjadi manusia yang berguna bagi sesama, ia menapaki perjalanan panjang. Namun takdir berkata lain. Ia tertahan di Indonesia—negara transit yang semula hanya akan disinggahi sebentar. Tahun demi tahun pun berlalu, hidupnya menggantung di ruang tunggu yang tak pasti. Meski begitu, semangat dalam dirinya tak pernah padam. Ia tetap berdiri, berharap, dan berjuang.
Dia adalah Bibi Rahima Farhangdost: perempuan muda berbakat dengan mimpi besar. Statusnya sebagai pengungsi memang membatasi ruang geraknya, namun hal itu tak pernah memadamkan semangatnya untuk belajar dan berkarya. Ia memilih untuk mandiri dan memanfaatkan setiap kesempatan yang ada—dimulai dari lingkungannya sendiri.
“Karena saya ingin lebih maju, ingin bantu orang lain, ingin bantu diri saya sendiri. Di Indonesia kan sebagai pengungsi kita enggak ada hak untuk bekerja, enggak ada hak seluas-luasnya untuk menempuh pendidikan. Jadi saya ikut kursus, belajar bahasa Indonesia supaya bisa bantu orang lain,”
—kata Bibi Rahima dalam percakapan via Zoom.

Rahima memahami bahwa meski hidupnya di negara transit bersifat sementara, bukan berarti ia tidak bisa membaur dengan masyarakat sekitar. Baginya, kuncinya adalah belajar Bahasa Indonesia. Kemampuan berbahasa ini membuka jalan baginya untuk berkomunikasi, berinteraksi, dan akhirnya mendapatkan berbagai peluang yang ia manfaatkan sebaik-baiknya.
Kini, Rahima telah menjadi trilingual, menguasai Bahasa Farsi, Indonesia, dan Inggris—bahkan sesekali ia memahami beberapa padanan kata dalam Bahasa Sunda karena tinggal di Bogor, Jawa Barat.
Dalam masa tunggunya, Rahima menemukan panggilan hidupnya: menjadi penerjemah dan paralegal, profesi yang memungkinkan dirinya tidak hanya menolong diri sendiri, tetapi juga komunitas pengungsi lainnya.
“Ya Brother, saya selama di Indonesia berusaha ikut banyak training, misalnya interpreter training, paralegal based community, first aid help, dan juga banyak workshop di Indonesia,” ujarnya, mencampurkan Bahasa Inggris dan Indonesia.
“Menjadi pengajar termasuk menjadi paralegal biar saya bisa bantu yang lain, menjadi penerjemah. Itu yang memotivasi saya. Karena saya juga mengalami banyak kesulitan di Indonesia, saya berusaha menyelesaikan masalah sendiri. Kalau ada kesulitan, enggak ada orang yang bantu saya. Saya harus mandiri dan bisa bantu yang lain juga,” tambahnya.

Hubungannya dengan masyarakat sekitar pun terjalin hangat. Di Bogor, ia memiliki seorang ibu angkat yang menganggapnya seperti anak sendiri. Waktu menunggunya kerap ia isi dengan membantu sang ibu dalam berbagai urusan rumah tangga.
“Ibu angkat saya baik banget. Saya pun sering dibantu, misalnya saya tidak punya motor untuk beraktivitas, kadang dipinjami. Kadang juga saya nganterin beliau kalau ada keperluan di luar. Hubungan saya baik sama orang Indonesia, karena orang Indonesia baik,” jelasnya.
Namun di balik semua itu, Rahima tak pernah berhenti berharap pada satu tujuan besar: resettlement. Setelah sebelas tahun penuh ketidakpastian, doa dan usahanya akhirnya dijawab. Ia menjalani proses penempatan ke negara ketiga—mulai dari wawancara hingga melengkapi dokumen administrasi.
Pada Juli 2025, Rahima berangkat ke negara ketiganya—sebuah tempat yang kini menjadi rumah barunya: Tasmania, Australia. Di sanalah ia memulai hidup baru dan mewujudkan cita-citanya.
Momen perpisahan di bandara menjadi yang paling berat. Ibu angkatnya menangis berulang kali, menunggu hingga empat jam sebelum pesawat benar-benar lepas landas. Bagi Rahima, momen itu begitu membekas—tanda kasih dan persaudaraan yang ia temukan di tanah rantau.
“Saya sedih sekali, karena beliau selalu bantu saya, selalu ada untuk saya. Saat saya pergi, beliau merasa kehilangan,” imbuhnya.
Sesampainya di negeri Kangguru, Rahima harus beradaptasi dengan banyak hal baru—terutama cuaca dingin Tasmania. Namun semangatnya tetap sama: belajar, menolong, dan terus menyalakan harapan. Di Australia, ia bercita-cita menjadi penerjemah profesional, melanjutkan panggilan hatinya untuk membantu sesama pengungsi.
Kini, setelah perjalanan panjang penuh perjuangan, Rahima ingin menyampaikan satu pesan bagi mereka yang masih menunggu kepastian—pesan tentang harapan.
Bagi Rahima, harapan bukan sekadar kata-kata. Harapan adalah nyala kecil yang bertahan di tengah kegelapan—yang menuntunnya menuju kehidupan baru. Ia menyambut awal barunya dengan penuh syukur, sambil membawa kenangan indah tentang orang-orang baik di Indonesia, tentang nasi padang yang selalu dirindukannya, dan tentang perjalanan panjang yang menjadikannya sosok kuat hari ini.
“Hold on to your hope. Don’t lose it, don’t give up. I know from my own experience that it is not easy, not at all. But my message is keep your hope alive. Someday, insha’Allah, life will change. After a long struggle with many challenges, you too will find your path to resettlement. Insha’Allah, everything will be okay.”
