Lovely Hands: Pelayanan Disabilitas yang Membuka Pintu Kesetaraan

03 Oktober 2025|Ajeng Anggraeni Putri.

Gereja Santo Yohanes Bosco, Sunter – 24 Juli 2025

Pagi yang cerah sekaligus terik mengiringi perjalanan kami—Melani, Adi, Rani, dan Ajeng—menuju Gereja Katolik Santo Yohanes Bosco, Sunter. Tujuan kami adalah belajar langsung dari Lovely Hands, sebuah komunitas yang mendampingi anak berkebutuhan khusus (ABK).

Dalam pelayanan JRS, kami kerap menjumpai ABK di tengah komunitas pengungsi—mereka yang mengalami disabilitas fisik, intelektual, maupun sensorik. Sebagai pengungsi yang hidup dengan keterbatasan akses, sumber daya, dan dukungan sosial, kerentanan mereka jauh lebih tinggi dibanding kelompok lainnya. Tantangan yang mereka hadapi bukan hanya soal kebutuhan dasar seperti tempat tinggal dan kesehatan, tetapi juga kebutuhan khusus seperti sanitasi, terapi, dan pendidikan inklusif. Sayangnya, akses terhadap layanan ini masih sangat terbatas. Karena itu, JRS berupaya belajar dari komunitas yang telah lama bergerak di bidang ini, seperti Lovely Hands.

Lovely Hands sendiri merupakan komunitas pelayanan disabilitas yang mendampingi ABK, terutama dari keluarga tidak mampu. Komunitas ini berdiri atas inisiatif Maria Lanneke—akrab disapa Ibu Lani—tiga belas tahun lalu.

Kunjungan tim JRS dilakukan di dua lokasi: Gedung Dominikus Savio lantai 3, Gereja St. Yohanes Bosco, dan Wisma Salesian Don Bosco. Di Gedung Dominikus Savio, pelayanan difokuskan pada pendampingan anak-anak hingga mereka siap melanjutkan pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB). Pendampingan dilakukan secara individu oleh para terapis. Sebelum diterima di Lovely Hands, orang tua diminta membawa anak mereka ke psikolog atau psikiater untuk memperoleh diagnosis.

Berdasarkan hasil pemeriksaan, anak akan memperoleh terapi sesuai kebutuhan dan keterampilannya. Terapi yang diberikan beragam: terapi sensori integrasi, terapi perilaku, terapi fisik, dan terapi wicara.

Salah seorang pendidik menekankan pentingnya diagnosis agar terapi sesuai dengan kondisi anak. Lovely Hands memilih metode terapi individu karena menyadari setiap ABK memiliki kemampuan berbeda dan membutuhkan pengulangan agar terbiasa.

Keterlibatan orang tua juga menjadi kunci. Mereka didorong untuk membantu anaknya menjadi mandiri. “Sering kali orang tua merasa kasihan dan memanjakan anaknya, padahal ini justru melemahkan kemampuan anak untuk mandiri,” ujar salah satu terapis. Lovely Hands berupaya memberi terapi sedini mungkin agar potensi anak berkembang optimal—tidak hanya pada kemampuan dasar, tetapi juga keterampilan unik masing-masing anak, seperti menggambar.

Target Lovely Hands adalah mempersiapkan anak-anak agar bisa bersekolah di SLB. “Seleksi di SLB makin ketat dan mensyaratkan anak-anak lebih tenang. Target kami agar mereka siap mengikuti kelas di SLB,” kata salah seorang pendidik.

Usai mendengarkan pengalaman Lovely Hands di Gedung Dominikus Savio, kami berempat melanjutkan kunjungan ke Wisma Salesian Don Bosco. Kegiatan di sana berfokus pada pendampingan penyandang disabilitas yang lebih dewasa. Terdapat kebun kecil dan dapur—ruang kreatif tempat mereka dilatih membuat minuman dan makanan. Beberapa penyandang disabilitas di sini adalah lulusan pendampingan di Gedung Dominikus Savio. “Harapan kami agar mereka bisa mandiri dan tetap berkontribusi dalam masyarakat dengan segala keunikan yang dimiliki,” ujar Ibu Juni, salah satu pengurus Lovely Hands di Wisma Salesian.

Dalam Gereja Katolik, perhatian kepada orang berkebutuhan khusus telah dicontohkan Yesus sendiri, yang menyembuhkan orang lumpuh, buta, tuli, atau mengalami gangguan mental. Kehadiran Gereja menjadi nyata melalui pelayanan langsung bagi mereka yang lemah dan tak berdaya. Paus Fransiskus dalam perayaan Hari Penyandang Disabilitas Internasional 2022 menekankan bahwa gerakan inklusi tidak cukup hanya dengan menyediakan akses fisik, tetapi juga memberi kesempatan untuk terlibat aktif dalam masyarakat. Ia memperkenalkan konsep magisterium fragility:

“People with disabilities are a sign of the fragility that is part of every human being… Their presence can help transform relationships in the Church, opening us to a spirituality of communion and tenderness.”

Perjalanan kami berakhir saat jam makan siang. Sebelum berpamitan, kami berfoto bersama. Wajah ceria para murid dan pendidik Lovely Hands menjadi sumber semangat bagi kami untuk terus melanjutkan pembelajaran berharga ini bersama JRS.