Bertamu di Rumah Para Tamu
24 Februari 2023|Ishak Jacues Cavin, SJ
“If migration is the crucible, then hospitality is the catalyst that crystalizes the vision of a different future, full of grace, where we all feel at home.” (Ares, 2021)
Pada Juli 2021, Provinsial Serikat Yesus mengutus saya untuk menjalani tahun orientasi kerasulan (TOK) di JRS Indonesia. Sebagai bagian dari proses formasi Jesuit, saya diutus untuk belajar bekerja di JRS. Pada pertengahan tahun 2022, saya menjalankan tugas sebagai koordinator proyek JRS Jakarta. Menjadi koordinator proyek di Jakarta adalah pengalaman yang formatif dalam pendidikan kejesuitan saya. Sebagai koordinator, saya belajar bagaimana menjadi sesama yang penuh kasih bagi para pengungsi, berjejaring melayani pengungsi, mendengarkan pendapat tim, berdiskusi bersama tentang isu pengungsi, dan membuat keputusan terkait pelayanan pengungsi. Saya banyak belajar dari rekan-rekan JRS dan pengungsi tentang keutamaan menjadi teman dan hospitalitas yang tulus.
Pelayanan Non-Mekanistik
Sebelum bergabung dengan JRS, saya melihat para pengungsi sebagai para tamu yang membutuhkan pertolongan dari kita sebagai tuan rumah di Indonesia. Potret pertama pengungsi yang saya jumpai sebelum bergabung dengan JRS adalah para pengungsi yang tinggal di tenda-tenda di sepanjang trotoar daerah Kalideres, Jakarta Barat. Setelah bergabung dengan JRS, saya baru mengerti bahwa para pengungsi juga memiliki rumah/kost yang disewa dari bantuan berbagai sumber.
Salah satu aktivitas yang rutin dilakukan bersama JRS adalah home visit untuk penemanan dan pendistribusian bantuan keuangan. Pengungsi di proyek Jakarta tersebar di berbagai wilayah (Kalideres, Serpong, Ciputat, Tebet, Depok). Rentang wilayah yang harus dikunjungi begitu beragam dengan jarak tempuh yang cukup jauh di tengah sesaknya jalanan Jakarta.
Dulu awalnya saya bertanya, mengapa JRS harus yang mengunjungi rumah pengungsi kalau yang butuh bantuan keuangan adalah para pengungsi? Mengapa tidak dibuat lebih efisien dengan meminta para pengungsi yang datang ke tempat yang ditentukan JRS untuk mengambil bantuan keuangan? Mengapa harus JRS yang repot-repot berkunjung, menyibak jalanan ibukota kalau yang butuh uang adalah pengungsi?
Apakah ini terjadi hanya karena JRS mengharuskan setiap staff menjalankan misi penemanan? Kalau memang JRS yang mengharuskannya, lantas apa untungnya bagi anggota staf JRS? Tentu tim JRS melakukan misi penemanan salah satunya karena menjadi bagian tugas profesi. Tetapi jika misi penemanan hanya sebatas tugas profesi, betapa mekanistik cara kehadiran JRS.
Tak butuh waktu lama saya mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas. Saya melihat bahwa roh penemanan JRS bagi para pengungsi tidak sekadar menjadi nilai organisasi, tetapi juga menjadi laku keutamaan pribadi setiap anggota staf JRS. Setiap rekan JRS yang saya jumpai memiliki roh penemanan yang mendalam. Hal ini terjadi karena proses di lapangan yang menempa setiap anggota JRS, bukan semata-mata karena tugas profesi yang sudah ditentukan sebelumnya oleh JRS sebagai organisasi. Tim JRS tidak bekerja secara mekanistik sebagai “robot” pekerja sosial, tetapi melayani dengan kebebasan hati (Boné: 2016) yang terbuka. Inilah yang membuat tim JRS juga menganggap penting dan membutuhkan perjumpaan langsung dengan para pengungsi.
Dalam kalkulasi biaya dan tenaga, penemanan bukanlah aktivitas yang efisien. Tetapi bukankah memang demikian yang dimaksud sebagai teman. Keuntungan seorang teman bukanlah keuntungan materialistik yang dapat dihitung, tetapi berupa kedalaman relasi yang dapat dirasakan.
Penemanan dan Hospitalitas
Home visit adalah salah satu bentuk penemanan JRS yang menunjukkan relasi timbal-balik yang menciptakan ruang perjumpaan. Sekilas pengungsi dianggap sebagai para tamu yang datang mencari perlindungan di Indonesia. Di sisi lain, dalam potret konkret home visit di lapangan, justru JRS yang menjadi tamu dari para pengungsi. Buah penemanan tidak hanya dialami oleh para pengungsi, tetapi juga oleh tim JRS. Hal ini nampak dari kegiatan kunjungan rumah pengungsi yang rutin dilakukan.
Kunjungan yang dilakukan oleh tim JRS berakar pada nilai hospitalitas. Dalam hal ini, tim JRS justru mengalami hospitalitas dari pengungsi yang menjadi tuan rumah bagi anggota staf JRS. Tak jarang para pengungsi menyediakan secangkir teh hangat untuk menyambut dan menerima tim JRS.
Dalam home visit, beberapa pengungsi berkenan membagikan pengalaman penderitaan dan kerapuhan ketika di negara asal, perjalanan mengungsi, hingga masa pengungsian di Indonesia. Jika direfleksikan lebih dalam, sebenarnya dalam home visit seperti ini, bukan hanya pengungsi yang berada dalam situasi rapuh. Hospitalitas dalam home visit juga merefleksikan kerapuhan setiap manusia, tak terkecuali tim JRS. Hospitalitas memotret relasi manusia yang saling terhubung dalam kerapuhan yang sama sebagai insan sehingga setiap pribadi tidak hanya butuh diterima tetapi sekaligus harus menerima orang lain (Boné, 2008: 110).
Hospitalitas mengundang kita untuk tidak takut menatap kerapuhan. Hospitalitas menciptakan ruang aman bagi setiap pribadi untuk hadir secara otentik dengan segala kerapuhannya. Hospitalitas memantik dan merefleksikan kerapuhan (Boné, 2008: 119-121) yang juga kita pikul. Melalui kerapuhan, tercipta ruang dialog (García, 2011) yang tulus antara anggota staf JRS dan pengungsi.
Setiap anggota staf JRS memiliki kesempatan istimewa diperkenankan oleh pengungsi untuk mendengarkan kisah-kisah perjuangan dan kerapuhan pengungsi. Di saat yang sama, perjuangan dan kerapuhan pengungsi merefleksikan pula kehidupan personal tim JRS. Dalam ruang perjumpaan dan dialog tentang kerapuhan, mengalir sikap compassion (kesediaan untuk menderita bersama) yang menyirami tunas-tunas iman kita akan Tuhan yang juga menderita bersama dengan kita. Hal ini membuat kita berani menatap kenyataan betapa kemanusiaan kita begitu rentan dan rapuh. Dan kepada para pengungsi-lah kita bertamu menimba kekuatan dan keberanian mempertahankan harapan di tengah kemanusiaan yang mudah koyak saat ini.
Referensi:
Ares, Alberto. Xenia 3.0: Recreating Hospitality in a Diverse World. JRS Europe, 2021.
Boné, I. Psychology of Gratitude and Spiritual Exercises. Manresa: Magazine of Ignatian Spirituality, 2016.
Boné, I. “Vulnerable and Hospitable”. Ignatian Spirituality and Otherness. Manresa: Magazine of Ignatian Spirituality, 2008.
García, J. A. Windows that Give to God: Human Experience and Spiritual Exercise. Salt Terrae, 2011.
Pope Francis. For a Culture of Encounter. Morning Meditation in The Chapel of The Domus Sanctae Marthae. Tuesday, 13 September 2016.