Berjejaring: Langkah Awal Memulai Kegiatan di JRS

20 Oktober 2024|Helmina Dewi Lestari

 Dewi memulai pekerjaan di Jesuit Refugee Service (JRS) Jakarta sebagai Information and Advocacy Officer (IAO) pada Januari 2024. Di dalam pekerjaan pertamanya di organisasi kemanusiaan, Dewi banyak mengalami hal-hal baru seperti penemanan langsung dengan para pengungsi dan secara tidak langsung melalui perjumpaan dengan para pemangku kepentingan di bidang kemanusiaan, khususnya kepengungsian.

Pengalaman tersebut mengingatkan kembali akan karir masa lalu Dewi di organisasi yang terkait dengan kerja sama pembangunan selama lebih dari satu dekade. Poin perjumpaan, komunikasi dan kolaborasi menyadarkan Dewi tentang pentingnya membangun jejaring luas dengan beragam pemangku kepentingan yang potensial. Mulai dari kementerian dan lembaga (K/L) di tingkat nasional dan daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM/NGO), sektor swasta, akademisi, organisasi kemasyarakatan (Ormas) baik sosial maupun keagamaan, serta alumni Jerman dan diaspora Indonesia yang tersebar di berbagai negara.

Berbekal kesadaran tersebut, sebagai IAO Jakarta, Dewi berusaha berjejaring untuk menyuarakan gagasan dari lembaga-lembaga yang mendukung keberadaan pengungsi internasional. Harapannya adalah melalui jejaring ini, lembaga kemanusiaan tetap menjadi ‘megafon’ bagi suara-suara para pengungsi internasional yang lemah bahkan hampir tidak terdengar.

Pengungsi internasional adalah orang-orang yang terpaksa meninggalkan negara asal mereka karena perang, konflik, diskriminasi rasial atau agama, keanggotaan dalam kelompok sosial atau politik tertentu, kekerasan, kebijakan ekonomi yang keliru, atau bencana alam. Melalui jejaring ini, Dewi berharap bahwa lembaga kemanusiaan dapat meningkatkan proses penemanan, pelayanan, dan advokasi pengungsi dengan lebih baik.

Dewi memiliki keyakinan dan pandangan bahwa kolaborasi dan kerja sama adalah elemen kunci untuk mencapai terciptanya kebaikan bersama, baik itu antarindividu maupun kelembagaan. Hal ini menjadi penting mengingat keterbatasan sumber daya seperti sumber daya alam, tenaga kerja, dana, waktu, teknologi, infrastruktur, jejaring sosial, dan budaya yang dimiliki oleh setiap organisasi dan individu yang mendukung keberadaan pengungsi di Indonesia. Lalu hal lain yang tak kalah penting adalah berjejaring memerlukan keterbukaan untuk mengenal potensi individu dan organisasi, serta kemampuan untuk bekerja sama agar semua pihak mencapai kebaikan bersama.

Dewi menemani teman-teman dari Orang Muda Katolik (OMK) Santo Fransiskus Asisi, Paroki Santo Albertus Agung, Harapan Indah Bekasi, Jawa Barat untuk berkenalan tentang isu pengungsi pada saat kegiatan Public Awareness tanggal 23 Maret 2024.

Tantangan dalam berjejaring adalah kesabaran untuk memahami mitra, memilih waktu yang tepat untuk berkomunikasi dan bernegosiasi, kemampuan mendistribusikan tugas, manajemen waktu, kepemimpinan dalam mengarahkan mitra, keberanian dalam mengambil keputusan dengan tata kelola risiko yang tepat, serta fleksibilitas dan sikap menerima secara damai jika proses yang terjadi tidak sesuai yang diharapkan. Hal ini berdampak pada kesiapsediaan untuk menghadapi kerumitan komunikasi di dalam struktur kelembagaan dan kecepatan implementasi kegiatan yang variatif.

Dewi menemani teman-teman dari Paroki Mahasiswa Keuskupan Agung Jakarta (PMKAJ) Unit Selatan yang menunjukkan antusiasme yang besar saat berdiskusi terkait Pencari Suaka dan Pengungsi di Indonesia yang dilaksanakan di Wisma Sahabat Yesus, Depok, Jawa Barat tanggal 30 Maret 2024.

Terkait komunikasi, sebagai jembatan komunikasi antara mitra dengan internal JRS terutama untuk menemukan titik tengah ide dari masing-masing pihak serta mengakomodasi setiap masukan dalam implementasi program bersama yang telah disepakati sebelumnya, Dewi melewati proses yang terkadang tidak selalu mulus. Di dalam proses ini, Dewi mengamati bahwa komunikasi yang lugas dan terbuka (asertif), kemampuan mendengarkan, memahami situasi dan kondisi lawan diskusi serta pemilihan diksi yang tepat dalam menyampaikan gagasan mitra dan internal JRS merupakan kunci saat menjadi jembatan komunikasi bilateral maupun multilateral dengan beberapa pihak.

Merefleksikan pengalaman selama bekerja di JRS terkait misi JRS yakni menemani, melayani dan mengadvokasi hak-hak para pengungsi yang berada di Jakarta; serta mengadaptasi salah satu komitmen yang ada di dalam 8 Prinsip Humanitarian, yakni komitmen no. 2: Masyarakat dan komunitas mengakses dukungan yang tepat waktu dan efektif sesuai dengan kebutuhan dan prioritas mereka dengan penjabaran di komitmen 2.1: Merencanakan dan melaksanakan program-program yang menghormati dan membangun pengetahuan, kapasitas dan aksi-aksi yang sudah ada, Dewi melihat fungsi dari jejaring yang terbangun sangat membantu implementasi kerja-kerja JRS di lapangan dalam konteks ini saat melaksanakan diseminasi informasi kepada para pengungsi. Misalnya saja dalam kegiatan pengenalan budaya Indonesia melalui cerita rakyat dan permainan tradisional Indonesia.

Dengan adanya kolaborasi dengan akademisi, dalam hal ini Universitas Kristen Indonesia dan juga mitra JRS lainnya seperti UNHCR dan Human Initiative yang juga merupakan salah satu implementing partner UNHCR, kegiatan sesi info berjalan lebih efektif, lebih efisien, lebih kaya, lebih berwarna, dan lebih atraktif baik dari segi materi yang disampaikan dan metodologi kegiatan.

Selain itu melalui jejaring dan kerja sama, potensi individu dan organisasi lebih dapat dioptimalisasikan untuk menunjang tercapainya misi JRS serta visi JRS yaitu memberikan perlindungan, kesempatan dan partisipasi bagi para pengungsi dan orang-orang yang dipindahkan secara paksa. Dalam hal ini potensi Fakultas Sastra dan Bahasa, Universitas Kristen Indonesia yang memiliki kekayaan pengetahuan lintas budaya dapat memperkenalkan tradisi Palang Pintu yang merupakan budaya pernikahan Betawi melalui media pemutaran film pendek kepada para orang tua pengungsi yang berasal dari Somalia, Sudan, Irak dan Myanmar.

Selain itu cerita rakyat dari Sumatera Barat yang mengisahkan anak bernama Malin Kundang yang mendapatkan karma setelah Ibunya mengutuk Malin Kundang menjadi batu juga diperkenalkan dan diceritakan dengan media panggung boneka serta menarik perhatian 20 anak-anak pengungsi yang berasal dari Somalia, Sudan, Irak dan Myanmar. Cerita rakyat itu pun menyampaikan beberapa pesan moral kepada anak-anak dan para orang tua agar 1) orang tua bertanggung jawab untuk merawat dan mendidik anak 2) anak-anak harus tetap bersikap sopan kepada orang tua apapun kondisi orang tua 3) anak harus tetap berbakti kepada orang tua dan tidak menjadi anak durhaka karena tidak lagi menganggap orang tuanya ada.

Sebagai kesimpulan, untuk menggali budaya Indonesia dari berbagai daerah yang kaya dan mengenalkan budaya Indonesia tersebut kepada pengungsi dan menuangkan ide tersebut dalam bentuk sesi info yang menarik, JRS perlu menggandeng banyak pihak untuk kolaborasi dan kerja sama agar proses yang dilakukan lebih ringan dan lebih mudah. Seperti halnya analogi sapu lidi, bilamana lidi itu hanya satu, maka lidi tersebut tidak memiliki kekuatan. Namun jika lidi-lidi tersebut diikat menjadi satu, maka akan menjadi kekuatan yang utuh yang tidak dapat dipatahkan maupun dihancurkan untuk menyapu segala rintangan yang dihadapi.

Helmina Dewi Lestari, atau yang biasa akrab disapa Dewi, memiliki hobi trekking, mendengarkan musik dan memasak serta memiliki ketertarikan besar terhadap isu pembangunan khususnya di bidang migrasi, diaspora serta kerja sama pembangunan internasional.