Accompaniment – Menyentuh yang Tak Tersentuh

16 Juni 2016|JRS Indonesia

Jarum jam di tanganku menunjukkan pukul 10.35 pagi. Kamp pengungsian di Desa Bayeun Aceh Timur mulai ramai. Sebagian pengungsi Rohingya terlihat mulai melakukan aktivitas rutin mereka. Sekelompok pengungsi remaja mulai berkumpul di ruang kelas untuk memulai aktivitas belajar bahasa Inggris, sementara anak-anak berkumpul di salah satu sudut bangunan kayu semi permanen untuk mengikuti kegiatan belajar dan bermain yang difasilitasi oleh relawan sebuah NGO. Di sudut bangunan yang lain terlihat belasan pengungsi perempuan beserta anak-anak balita mereka bergerombol bersama relawan yang lain. Beberapa pengungsi yang lain nampak duduk-duduk di bawah pohon sambil berbincang di antara mereka. Begitulah suasana sehari-hari di kamp pengungsian ini.

Setelah beberapa hari mengunjungi kamp dan memperhatikan rutinitas kegiatan pengungsi, mata saya tertuju pada sesosok remaja belasan tahun yang duduk sendiri di dalam tenda, sementara teman-temannya  telah sibuk beraktivitas. Terdorong oleh rasa penasaran akhirnya saya menghampiri  remaja tersebut. “Nama saya Mohammad Hasan,” begitu dia memperkenalkan diri. Dengan wajah menunduk malu dan kurang percaya diri, Hasan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan saya dengan bahasa Indonesia sepenggal-sepenggal. “Saya no like study, saya hari-hari duduk di sini. Sore hari saya play football”. Selama kunjungan saya di kamp ini, saya belum pernah melihat pemuda 15 tahunan ini bergabung bersama teman-teman seusianya untuk belajar di kelas.

Saya tidak percaya bahwa Hasan tidak suka belajar. Saya mencoba mencari tahu kenapa dia tidak mau bergabung dengan teman-temannya untuk belajar bahasa Inggris atau aktivitas yang lain. Hingga akhirnya suatu hari saya mendapatkan jawabannya. “Abang..  saya no like study, saya malu. Saya no bisa baca, no bisa tulis,” jawab Hasan.

 

Setelah mengamati beberapa hari, saya menemukan Hasan ternyata tidak sendiri, ada Rofik, Mohammad Aziz dan Amin yang terlihat duduk-duduk atau tiduran di dalam tenda pada saat teman-teman mereka sibuk belajar di kelas. Dengan alasan yang sama mereka mengaku malu bergabung di kelas karena belum bisa membaca dan menulis. Dari sinilah kemudian muncul ide untuk melakukan intervensi secara khusus dan personal. Saya lalu meminta rekan-rekan saya untuk menemani Hasan dan teman-temannya belajar membaca dan menulis di tenda mereka.

Dari waktu ke waktu terlihat keceriaan mulai terpancar dari wajah Hasan dan teman-temannya. Satu setengah bulan berlalu, kini ia telah nampak lebih ceria dengan tatapan penuh percaya diri. “Abang…sekarang saya bisa tulis nama saya. Ini father…ini mother dan sister saya,” Hasan mencoba menjelaskan nama-nama orangtua dan saudaranya yang dia tulis di sebuah papan tulis kecil. Dengan senyum lebar saya pun memuji apa yang telah dicapainya.

Hasan adalah simbol dari sebagian pengungsi yang terlupakan, yang tidak tersentuh. Ketika sebagian pengungsi telah mendapatkan dan menjalani berbagai aktivitas, ada sebagian lain yang luput dari pandangan kita. Orang-orang yang tidak berani menunjukkan dirinya, merasa malu dan tidak percaya diri, mereka lah yang membutuhkan intervensi.

Ketika kebanyakan orang lebih memilih memberikan perhatian kepada mereka yang nampak di depan mata, sudah selayaknya kita mencoba mencari dan memberi perhatian kepada mereka yang tidak nampak atau bahkan sengaja menyembunyikan diri. Di antara hal-hal besar yang sudah dipedulikan orang, pasti ada hal-hal kecil dan tersembunyi yang luput dari perhatian. Maka kemampuan untuk menyentuh apa yang tidak tersentuh akan melahirkan kebahagiaan dan kesejatian dalam penemanan

***

Sejak kedatangan pengungsi Rohingya di wilayah Aceh pada Mei 2015, gelombang simpati berdatangan untuk membantu mereka, mulai dari masyarakat lokal Aceh hingga komunitas internasional. Euforia simpati yang berkembang di masyarakat dalam menyambut pengungsi Rohingya adalah wujud dari kepedulian masyarakat dan pemerintah baik pusat maupun daerah dalam membantu pengungsi.

Waktu terus berjalan, gelombang bantuan untuk pengungsi pun seakan tiada hentinya berdatangan. Tidak kurang dari 18 organisasi baik lokal, nasional, maupun internasional menjalankan peran masing-masing untuk membantu pengungsi, dalam kerjasama dengan pemerintah setempat. Misalnya: UNHCR, IOM, JRS, Save the Children, Dompet Dhuafa, PKPU, Insan TV, Yayasan Sheep Indonesia, Peduli Muslim, Bulan Sabit Merah Indonesia, ACF, CMC, Roja TV, MSF, As-sunni, MDMC, Yayasan Geutanyoe, BPBD, Tagana, pemerintah daerah Kabupaten Aceh Timur serta Kota Langsa, Imigrasi dan lain-lain bahu-membahu memberikan bantuan kepada pengungsi hingga saat ini.

Situasi yang terjadi di Aceh dalam penanganan pengungsi Rohingya ini menjadi fenomena yang sangat menarik untuk dikaji karena sangat berbeda dari proses penanganan pengungsi lintas batas lainnya yang terjadi selama ini di wilayah lain di Indonesia. Sebagaimana diketahui, urusan penanganan pengungsi lintas batas atau imigran di Indonesia selama ini hanya menjadi ranah Imigrasi, UNHCR dan IOM sebagai institusi yang menerima mandat secara langsung dari Pemerintah Indonesia.

Namun, penanganan pengungsi Rohingya dan imigran Bangladesh di Aceh melibatkan pemerintah daerah, lembaga-lembaga kemanusiaan, dan juga kelompok masyarakat yang tergabung dalam Satuan Tugas Penanganan Pengungsi Rohingya bentukan pemerintah daerah Kabupaten Aceh Timur dan Kota Langsa. Secara umum, model penanganan pengungsi secara terbuka dengan melibatkan banyak pihak telah memberikan ruang partisipasi masyarakat yang menunjukkan besarnya komitmen dan kepedulian masyarakat terhadap isu pencari suaka dan pengungsi.

Keterlibatan banyak lembaga mempermudah pemenuhan kebutuhan dan hak-hak pengungsi. Namun di sisi lain, keterlibatan banyak lembaga yang tidak disertai sistem tata kelola dan aturan yang jelas sangat berpotensi menimbulkan persoalan dalam koordinasi, tumpang tindih, dan bahkan konflik kepentingan serta kecemburuan masyarakat lokal. Dari pengalaman ini muncullah ide untuk membuat SOP atau sejenis panduan untuk penanganan pengungsi lintas batas yang berbasis komunitas. Panduan berdasarkan pengalaman ini sedang disusun oleh Yayasan Sheep Indonesia dan akan diterbitkan dalam beberapa waktu  mendatang.

Karena dukungan material telah dipenuhi oleh berbagai organisasi, JRS memilih untuk fokus pada dukungan koordinasi dan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang siapa orang Rohingya dan apa status mereka, melalui kegiatan public awareness seperti talkshow di radio. Dialog publik dengan berbagai unsur pemerintah difasilitasi oleh beberapa NGO (Yayasan Geutanyoe, ACF dan Yayasan Sheep Indonesia) dengan mengajak JRS untuk berbagi pemahaman dan pengalaman dalam mendampingi pengungsi lintas batas di Indonesia.

Untuk memastikan bahwa tidak ada pengungsi dan aspek pendampingan yang terlupakan, JRS memfokuskan dukungan untuk membantu koordinasi, mengatasi kesenjangan, membagi informasi dan mendukung semua pihak yang ingin menjangkau masyarakat lokal dan pengungsi Rohingya, untuk mengembangkan pemahaman akan perbedaan budaya yang ada.

*Nama para pengungsi dan pencari suaka telah diganti untuk melindungi identitas mereka