Perjalanan Mbak Ning di Jalur-Jalur Konflik

15 November 2025|Fahrian Saleh

Suara lantang dan bersahabat terdengar dari audio Zoom pada 11 November 2025. Saat itu, tim JRS Jakarta mengadakan pertemuan virtual untuk mewawancarai salah satu rekan yang pernah berkarya bersama JRS. Dari ceritanya, tergambar sosok perempuan yang berani menapaki jalur-jalur konflik.

Di layar tampak Veronica Purwaningsih dengan ekspresi hidup dan antusias. Ia mengisahkan kembali pengalaman-pengalaman yang melekat kuat dalam ingatannya: waktu, tempat, hingga langkah-langkah kecil yang menandai awal keterlibatannya di JRS sejak 2008.

Sesi Zoom malam itu beberapa kali terputus karena jaringan—maklum, Mba Ning, begitu ia disapa, sedang berbicara dari daerah tugasnya di pedalaman Papua.

Waktu itu Romo Mardi Santoso datang ke rumah. Dari situ saya mulai mengenal JRS. Saya diajak naik motor dari rumah ke De Britto, lalu dibonceng lagi ke Pringwulung dan dikenalkan dengan Romo Yadi yang saat itu menjabat sebagai Direktur JRS,” ujarnya.

Dari perjalanan singkat di atas motor itulah, jalan panjang Mbak Ning terbuka hingga kini. Perempuan kelahiran Bantul ini pertama kali ditugaskan di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.

Sebenarnya aku sudah mengenal JRS itu lebih dulu saat diminta oleh Romo Sudri untuk memberikan dampingan beberapa eksodus Timor Timur di Jakarta. Aku pun mendapatkan kaos JRS pertama kali pada saat itu. Saat resmi bergabung dengan JRS, mungkin karena aku backgroundnya hukum jadi di Tapsel (Tapanuli Selatan) aku diminta untuk menganalisa permasalahan hukum di sana,” jelasnya.

Saat itu, pemberlakuan masa Domisili Operasi Militer (DOM) di Aceh membuat banyak warga mengungsi. Sebagian tiba di Tapanuli Selatan, terutama di Batang Toru. Mereka adalah transmigran dari Aceh yang terdampak situasi keamanan. Di sana, Mbak Ning mendampingi komunitas dan menganalisis persoalan hukum yang mereka hadapi.

Perjalanan karya Mbak Ning bersama JRS berlanjut ke Indonesia Timur, tepatnya Ambon. Ia datang setelah konflik sosial mereda. Dengan latar belakang hukum, ia diminta memediasi persoalan tanah. Banyak pengungsi bermasalah dengan sertifikat tanah mereka, dan di situlah peran Mbak Ning hadir.

2011 aku diminta untuk urus tanah lagi. Untuk korban konflik lagi yang ada di Ambon. Jadi aku datangnya itu bukan pas waktu konflik, tetapi konflik sudah meredah, terus ini persoalan tanahnya bagaimana. Ada sekitar 30-an komunitas yang tinggal di sana. Mereka sudah, istilahnya sudah punya coupling tanah. Sudah ada sertifikat tanahnya. Hanya sertifikat itu ditahan sama seseorang katanya begitu…,” jelasnya panjang lebar.

Kecurigaan muncul ketika sertifikat sudah atas nama para pengungsi, tetapi tidak pernah mereka terima. Ada indikasi pelanggaran prosedur dan pihak-pihak yang memanfaatkan situasi. Proses penanganannya terhambat, sehingga Mbak Ning dan tim mencari alternatif lain.

Tim kemudian mencari lokasi tanah baru dengan melibatkan para pengungsi. Dari sekitar 30 keluarga, tak semuanya sepakat; sebagian bersikeras mempertahankan lokasi lama yang bermasalah. Akhirnya hanya 10–11 keluarga yang bersedia pindah ke lokasi baru yang mereka pilih sendiri dari beberapa opsi hasil survei bersama.

Dari Ambon, tugas Mbak Ning berlanjut ke Sulawesi Tengah. Pada September 2018, gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi melanda wilayah Palu, Sigi, dan Donggala. Bersama tim, ia fokus pada pendampingan anak-anak melalui kegiatan pemulihan psikososial.

Setelah bertugas di Sulawesi Tengah, Mbak Ning melanjutkan perjalanan ke Papua—pulau yang pada akhirnya membuatnya jatuh hati. Papua menjadi penugasan terakhirnya di bawah JRS, mendampingi masyarakat yang menjadi korban konflik bersenjata.

Dari setiap pengalaman bersama JRS, ia mengaku tak pernah ragu untuk membantu sesama. Keyakinannya pada nilai yang ia pegang membuatnya tangguh. Tubuhnya yang kecil dan usia yang tak lagi muda tidak menghalanginya untuk terus melayani, menemani, dan membela mereka yang terpinggirkan.

Kini, Mbak Ning tidak lagi bertugas di JRS, tetapi ia tetap memilih mengabdikan diri bagi masyarakat berbagai daerah, khususnya Papua yang sudah menjadi rumah keduanya. Sesekali ia masih berkontak dengan rekan-rekan lamanya melalui WhatsApp, menjaga silaturahmi yang terjalin selama masa penugasan.

Pesannya sederhana: mengandalkan Tuhan dalam setiap langkah.

Jadi diri sendiri dan ikut kata hati. Kata hati ya kata nurani dan itu kata Tuhan. Apapun risikonya pasti Tuhan kasih jalan, meskipun tidak mudah tapi Tuhan memampukan dan menguatkan,” pungkasnya.