Selamat Jalan, Paus Rakyat!
24 April 2025|Martinus Dam Febrianto, SJ
He is a pope of the people, for the people; but most of all, he is a pope with the people.
(Austen Ivereigh dalam Wounded Shepherd: Pope Francis and His Struggle to Convert the Catholic Church, 2019)
Sejak keterpilihannya sebagai pemimpin Gereja Katolik sedunia pada 13 Maret 2013, Paus Fransiskus telah memberi banyak kejutan, baik bagi Gereja maupun masyarakat dunia. Gestur maupun kata-katanya menampakkan kerendahan hati, kedekatan, dan rasa solidaritas yang mempesona banyak orang. Ia membayar sendiri tagihan penginapan selama mengikuti konklaf, ia makan bersama dengan para pekerja, ia mengunjungi orang-orang yang dipenjara. Ia melakukan perjalanan resmi ke luar negeri pertama sebagai paus bukan ke pusat-pusat politik, tetapi ke suatu pulau kecil di lepas pantai selatan Italia. Di lautan yang berbahaya yang memisahkan Eropa dan Afrika itu, ribuan migran yang berhasrat menemukan kehidupan yang lebih baik telah menemui kebinasaan, ketika kapal-kapal yang mereka tumpangi ditolak masuk ke Eropa, terkatung-katung dan sebagian tenggelam. Lampedusa dan Laut Mediterania menjadi simbol krisis kemanusiaan global yang melanda dunia saat ini.
Kunjungan Paus Fransiskus ke Lampedusa kala itu menjadi seruan kepada dunia akan situasi dehumanisasi luar biasa yang muncul akibat kemiskinan, eksploitasi, ketidakadilan, dan konflik. Kunjungan itu juga sebagai seruan kepada masyarakat internasional untuk ikut bertanggung jawab mengatasi tragedi kemanusiaan zaman ini. Paus Fransiskus memang memiliki perhatian istimewa Paus terhadap mereka yang rentan dan terpinggirkan. Kunjungan ke Lampedusa, sebagaimana direfleksikan oleh teolog Daniel Groody, merupakan salah satu dari sekian banyak “highly symbolic gestures” yang mengungkapkan prioritas-prioritas misi dan perspektif pastoral seorang Paus Fransiskus (Groody, 2015: 46). Highly symbolic gestures yang menampakkan kerendahan hati, kedekatan, solidaritas dan keberpihakan terhadap mereka yang terpinggirkan ini masih akan terus ia nyatakan dalam 12 tahun masa pontifikatnya, hingga akhir hayatnya di Senin Paskah, 22 April 2025.

Anak dari Keluarga yang Harus Berjuang
Paus Fransiskus adalah seorang keturunan imigran. Ia tahu betul perjuangan hidup orang-orang yang tinggal di pinggiran kemanusiaan: mereka yang miskin, mereka yang sakit, mereka yang terabaikan, mereka yang terpaksa pindah oleh bermacam sebab. Lahir di Buenos Aires, Argentina, pada 17 Desember 1936, Jorge Mario Bergoglio adalah anak keluarga imigran dari Italia, orang-orang yang sungguh merasakan pengalaman sebagai kaum migran. Austen Ivereigh, sejarawan kontemporer di Campion Hall, Ofxord, yang juga penulis biografi Paus Fransiskus, mengisahkan dalam The Great Reformer: Francis and the Making of a Radical Pope (2014: 3), kakek dan nenek Bergoglio, Giovanni Angelo Bergoglio dan Rosa Margarita Vasallo di Bergoglio, bersama dengan enam anak mereka, termasuk ayah Fransiskus, Mario, telah membeli tiket salah satu kapal termegah dan tercepat Italia di masa itu, Principessa Mafalda, untuk pelayaran Oktober 1927 menuju Buenos Aires.
Akan tetapi, proses penjualan kedai kopi keluarga di Turin memakan waktu lebih lama dari yang diperkirakan. Keluarga ini pun batal menumpang kapal tersebut, yang ternyata akan melakukan perjalanan pelayaran untuk yang terakhir kalinya. Di lepas pantai Brazil, propeler kapal patah dan merusakkan lambung kapal. Kapal megah itu mengalami kebocoran yang kemudian menelenggelamkannya. Keluarga Bergoglio pun lolos dari bencana karena batal naik kapal tersebut. Kelolosan dari musibah ini menjadi bagian dari kisah klasik keluarga Bergoglio dan disyukuri sebagai penyelenggaraan ilahi dalam perjalanan migrasi mereka. Keluarga Bergoglio kemudian menumpang kapal yang lain, Giulio Cesare, sebulan setelah keberangkatan Principessa Mafalda, dan tiba di Buenos Aires sebagai imigran dari Italia pada Januari 1928.
Teologi Rakyat Sang Pastor Rakyat
Belum sembuh dari sakit yang dideritanya sejak awal tahun ini, Paus sudah menampakkan diri, menyapa umat di Basilika dan lapangan Santo Petrus, juga sudah menerima tamu negara. Ia tidak dapat terpisah dari umat, untuk tinggal dekat dan ada bersama mereka, terutama mereka yang memerlukan sapaannya. Tak sampai 24 jam dari penampakan di hadapan publik dan perjumpaannya dengan umat untuk kali yang terakhir, ia sudah menghembuskan napas terakhirnya.
Paham teologis macam apa yang membuatnya sehabis-habisnya hidup untuk umat? Gerak pastoral Paus Fransiskus yang menaruh perhatian terhadap orang-orang yang terpinggirkan dikatakan sangat dipengaruhi oleh “teologi rakyat” atau “teologi umat” (theology of the people, la Teologia del Popolo, teología del pueblo). Teologi rakyat merupakan suatu cabang dari teologi pembebasan yang memberi perhatian terhadap penghayatan iman umat beriman sebagai sumber-sumber kunci bagi refleksi teologis. Teologi ini dikembangkan oleh pemikir seperti Rafael Tello dan Lucio Gera di Argentina, yang kemudian menjadi alternatif teologi pembebasan Amerika Latin yang dianggap radikal. Teologi ini memiliki karakteristik yang sama dengan teologi pembebasan, yakni “preferential option for the poor” dan metode induktif “melihat-menilai-bertindak”, tetapi kemudian mengembangkan jalan dan wajahnya sendiri.
Teologi rakyat mengambil sumber-sumber dari devosi dan budaya rakyat biasa, termasuk spiritualitas yang mereka hidupi dan rasa keadilan (sense of justice) yang mereka miliki (Joseph Xavier, 2016: 592). Walter Kasper (1984: 56) menjelaskan bahwa dalam teologi ini, rakyat (dengan praktik iman mereka) tidak hanya menjadi tujuan dan pendengar teologi, melainkan merupakan subjek dan tempat berteologi. Dengan dasar teologi ini, seorang gembala datang kepada umat bukan pertama-tama untuk menghakimi, tetapi sebagai gembala yang baik yang mencintai umat, mengekpresikan iman Kristiani terutama kepada orang-orang miskin.
Maka, teologi rakyat adalah teologi yang berkembang karena dialog antara Gereja dan rakyat (The theology of the people thinks of the Church in dialogue with the people). Maksudnya bukan dialog antara umat dan hierarki Gereja, melainkan antara “umat Allah” (the people of God) dan “rakyat semesta” (the people of the earth). Dalam percakapan dengan Dominique Wolton, Paus mengungkapkan bahwa istilah “teologi rakyat” tidak amat disukainya, tetapi demikianlah penyebutan yang dapat disematkan untuk suatu kegiatan berteologi yang berjalan bersama rakyat atau umat Allah dan menjumpai budaya mereka (The Path to Change: Thoughts on Politics and Society, 2017: 20).
Merujuk pada pemikiran filsuf antropologis Rodolfo Kusch, Paus memahami “rakyat” tidak sebagai suatu kata logis (logical word), tetapi kata mitis (mythical word). Paus mengatakan, bahwa untuk memahami rakyat, memahami nilai-nilai dari rakyat, kita harus masuk ke dalam semangat, hati, pekerjaan, sejarah dan mitos dari tradisi yang dihidupinya. Pokok tersebut adalah akar sesungguhnya dari apa yang kemudian disebut sebagai teologi “rakyat”. Itu berarti berjalan bersama dengan rakyat, melihat bagaimana mereka mengekspresikan diri mereka.” Pandangan Paus Fransiskus mengenai rakyat (the people) ini ia kemukakan kembali dalam ensiklik Fratelli Tutti (2020, art. 158).
Paus Fransiskus, Kebangkitan dan Harapan
Saat menerima kabar meninggalnya Paus Fransiskus, saya sedang melanjutkan membaca memoar Paus Fransiskus Hope: The Autobiography (2025) yang sebelumnya dimaksudkan untuk diterbitkan setelah kematiannya. Namun, karena 2025 adalah tahun Yubileum dengan tema “Peziarah Harapan”, maka sudah diterbitkan pada Januari lalu. Di situ, Paus Fransiskus mengatakan, “Kehidupan saya adalah kisah perjalanan harapan, perjalanan yang tidak dapat saya pisahkan dari perjalanan keluarga saya, umat saya, seluruh umat Tuhan.” Sebelumnya, Paus Fransiskus menerbitkan bulla Spes Non Confundit (2024), “Harapan Tidak Mengecewakan”, yang menandai Tahun Suci Yubileum. Dalam dunia yang berantakan, yang hampir semuanya karena ulah manusia sendiri, Paus berpesan agar kita tidak hilang harapan. Di tengah situasi gelap saat ini, ajakan untuk berpengharapan barangkali terdengar naif. Namun, Paus mengatakan, “Harapan membuka horizon-horizon baru, memampukan kita untuk memimpikan apa yang bahkan tak terbayangkan.”
Paus Fransiskus memang tidak pernah mengakhiri pesan, homili, nasihat apostolik maupun ensikliknya dalam kemuraman penderitaan dan kekacauan hidup manusia, betapa pun suram realitas yang dihadapi, tetapi senantiasa diakhiri dengan harapan dan undangan untuk bangkit dan bergerak. Suka cita kebangkitan mesti menjadi arah pandangan manusia, meskipun ia tengah menderita. Paus Fransiskus menyadari bahwa undangan kepada suka cita di tengah situasi sukar bisa menjadi provokasi atau sikap yang ignorant dan tidak bertanggung jawab (Paus Fransiskus, Life After the Pandemic, 2020: 44). Akan tetapi, Paus hendak mengatakan bahwa penderitaan dan kesedihan semestinya tidak membawa orang berakhir pada kelumpuhan yang menguburkan harapan. Tanpa mengecilkan penderitaannya dan sesamanya, manusia dapat memilih untuk melampaui penderitaan, yakni, seperti dicontohkan oleh para perempuan yang pergi ke makan Yesus (Mrk. 16:1), mampu mengambil sikap dan menemani yang lain.
Saat ini, barangkali kita harus menghadapi masa sulit (baca: gelap), baik di tingkat global, regional, juga nasional. Mengingat kembali pesan Urbi et Orbi Paskah 2020, saat dunia dan umat manusia dilanda Covid-19, saat itu Paus Fransiskus menyatakan bahwa masa sulit bukan menjadi masa untuk berdiam diri: bersikap masa bodoh (indifference), memusatkan pada diri sendiri (self-centeredness), memisahkan diri (division), atau juga melupakan orang lain (forgetfulness). Kenyataan bahwa seluruh dunia tengah menderita sebenarnya menjadi jalan akan kesatuan untuk menghadapi persoalan yang ada. Kegelapan hidup adalah panggilan untuk bangkit dan bergerak, keluar dari diri sendiri dan melihat realitas secara baru. Berbagai krisis yang dihadapi manusia dan membawa pada penderitaan banyak orang: konflik, persekusi, diskriminasi, ketidaksetaraan, krisis ekologis, migrasi paksa, krisis pengungsi, adalah panggilan untuk bertindak dan menjadi bagian dari solusi. Kesadaran adalah jalan bagi kebangkitan dan selanjutnya harapan bagi penggenapan Kerajaan Allah, yakni ketika solidaritas dan persaudaraan terbangun antarmakhluk di planet ini.
Selamat jalan, Paus Fransiskus, Paus rakyat, untuk rakyat, dan terutama, bersama rakyat! Engkau telah mengakhiri pertandingan yang baik dan telah mencapai garis akhir dengan penuh iman (bdk. 2 Tim. 4:7). Engkau telah meninggalkan inspirasi luar biasa bagi kami. Kini, dari keabadian rumah Bapa, doakan kami yang masih berjuang di dunia ini.
Martinus Dam Febrianto SJ
Direktur Nasional JRS Indonesia, Penulis Sang Pelintas Batas-batas: Berteologi di Era Migrasi Bersama Paus Fransiskus (Yogyakarta: Kanisius, 2022)