Sebuah Perjalanan dalam Membela Kaum Terpinggirkan

20 April 2025|Fahrian Saleh

Di balik tembok-tembok kokoh sebuah bangunan, dalam ruangan yang tenang, seorang pria paruh baya dengan senyum hangat menyambut para tamu yang datang ke kantornya. Dengan ramah, ia menawarkan secangkir kopi, sambil berbincang dengan tim JRS yang berkunjung. Pria itu adalah Pater Adrianus Suyadi SJ atau yang sering disapa Romo Yadi, seorang imam Jesuit yang saat ini menjabat sebagai Direktur  Lembaga Daya Dharma (LDD) Keuskupan Agung Jakarta.

Dalam pertemuan bersama tim JRS, Romo Yadi berbagi kisah perjalanan hidupnya yang penuh dedikasi dalam berbagai misi kemanusiaan. Separuh hidupnya telah ia curahkan untuk membela mereka yang terpinggirkan, bukan sekadar sebagai tugas, melainkan sebagai panggilan hati yang terdalam. Dari lereng tandus Gunung Kidul, hingga ke pelosok Ambon yang pernah dilanda konflik,  dari pengungsian di Bosnia yang dingin, hingga ruang detensi penuh keterbatasan di Medan, Romo Yadi telah menyaksikan langsung penderitaan manusia yang kerap luput dari perhatian banyak orang. Setiap langkahnya adalah bukti nyata bahwa perjuangan untuk kemanusiaan tak pernah mengenal batas.

Awal Mula, Dari Gunung Kidul ke Jakarta

Berbicara kemanusiaan memang tak ada habisnya, sebuah perjalanan yang tak bakal disangka akhirnya seperti apa.  Romo Yadi berasal dari Gunung Kidul, salah satu kota kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta. Di sana, dia tumbuh dengan kesadaran bahwa kemiskinan bukanlah sekadar masalah ekonomi, melainkan juga ketidakadilan struktural yang mengakar. Pengalaman masa kecilnya di daerah dengan sumber daya alam yang sangat terbatas menjadi fondasi kuat bagi keterlibatannya dalam gerakan sosial.

Romo Yadi menempuh studi filsafat di Jakarta pada era Orde Baru. Ia mulai terlibat dalam pelayanan sosial melalui Institut Sosial Jakarta yang dikelola oleh Serikat Yesus. Pada saat itu ia menyaksikan langsung penggusuran besar-besaran terhadap perkampungan kumuh dan perjuangan buruh yang upahnya tak sebanding dengan jerih payah mereka.

Kami harus sembunyi-sembunyi saat mengadakan pertemuan dengan para buruh. Intel selalu mengintai,” kenangnya. Situasi yang represif itu justru semakin menguatkan tekadnya untuk memperjuangkan keadilan dan demokrasi.

 

Melanglang Buana, Dari Roma hingga Bosnia

Perjalanan Romo terus berlanjut, setelah menyelesaikan studi filsafat, ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Roma, Italia. Di sana, dia tak hanya belajar teologi, tetapi juga terlibat dalam pelayanan kepada pengungsi melalui Jesuit Refugee Service (JRS). Dalam tugasnya, ia mengunjungi goa-goa di luar kota Roma, tempat para pengungsi dari Eropa Timur tinggal dalam kondisi yang memilukan. “Mereka kan di sana itu tinggal di ruang terbuka, bahkan saat musim dingin. Sungguh, saya tidak bisa membayangkan betapa menderitanya mereka,” ujarnya.

Pengalaman itu semakin menguat ketika ia menghabiskan satu bulan di Bosnia dan Kroasia, tinggal bersama para pengungsi korban perang. Dia harus hidup dan ikut merasakan apa yang dialami para pengungsi di wilayah tersebut. “Mereka kehilangan keluarga, rumah, dan masa depan. Tapi di tengah keputusasaan, mereka masih memiliki harapan,” katanya. Ia pun semakin terdorong untuk terlibat dalam gerakan kemanusiaan.

Kembali ke Tanah Air Tercinta

Setelah menerima tahbisan imamat pada tahun 1999, Romo Yadi ditugaskan ke Ambarawa, Jawa Tengah. Saat itu, di tengah gejolak reformasi, dia dan rekan-rekannya terlibat dalam gerakan lintas agama bersama mahasiswa dari UIN dan Universitas Satya Wacana. “Reformasi belum berjalan mulus. Banyak ketidakadilan yang masih terjadi,” ujarnya. Ia juga mendampingi petani di salah satu daerah, membantu memperjuangkan hak-hak mereka.

Kemudian, pada tahun 2003, ia dikirim ke timur Indonesia, di tengah konflik masyarakat yang memanas antara umat Kristiani dan Muslim. Konflik saat itu menimbulkan banyak korban dan menimbulkan perpecahan dalam masyarakat. Selama konflik, dia terus mengupayakan rekonsiliasi agar terjadinya perdamaian. Pada proses itu, dia menyadari bahwa akar konflik bukanlah masalah agama, melainkan kepentingan politik. 

Kami mengajak mereka merefleksikan siapa yang sebenarnya dirugikan. Mereka akhirnya menyadari bahwa mereka adalah korban dari kekuatan di luar mereka,” jelas Romo Yadi. Baginya, proses rekonsiliasi ini tidak mudah, mengingat banyak keluarga yang kehilangan anggota keluarganya. Namun, pendekatan yang sabar dan penuh empati akhirnya berhasil membawa perdamaian di tingkat akar rumput.

Membela Pengungsi yang Terlupakan

Pada tahun 2008, Romo Yadi bersama JRS mulai terlibat dalam pelayanan di salah satu detensi imigrasi daerah tertentu. Awalnya, ia dan tim dari JRS tidak diperbolehkan bertemu langsung dengan para pengungsi. “Kami hanya bisa memberikan makanan melalui jeruji,” kenangnya dengan sedih. Namun, dengan pendekatan yang konsisten, mereka akhirnya mendapatkan kepercayaan dari petugas imigrasi dan diperbolehkan bertemu langsung dengan para pengungsi.

JRS mulai memfasilitasi berbagai aktivitas untuk pengungsi, melakukan kegiatan psikososial dan lainnya, termasuk melaksanakan perlombaan bersama yang tujuannya memberikan penghiburan bagi para pengungsi yang berada di detensi. Di samping itu, memberikan penyegaran yang dikemas dalam aktivitas-aktivitas bermanfaat.

Prosesnya panjang, tapi kami berhasil membawa sedikit kebebasan bagi mereka,” ujarnya. Ia juga terlibat dalam advokasi untuk memungkinkan pengungsi tinggal di luar detensi asalkan ada lembaga yang menjamin mereka.

Seiring waktu, akses untuk membantu para pengungsi semakin terbuka. Pelayanan ini kemudian berkembang ke berbagai daerah lainnya. Lewat advokasi yang panjang, pemerintah akhirnya memperbolehkan beberapa pengungsi tinggal di luar detensi dengan bantuan lembaga yang mendampingi mereka.

Jika ditanya selama menjalankan proses tersebut apakah pernah mendapatkan tantangan paling berat, jawabannya tentu saja hal itu tak bisa dihindari. Tapi satu hal yang dipahami bahwa tantangan itu harus dihadapi dan bisa diselesaikan sampai dengan akhir. Romo Yadi, juga bercerita sering kali dia juga menghadapi orang-orang yang selalu datang dengan masalah tanpa bisa menawarkan solusi. Namun dia tetap percaya bahwa setiap masalah pasti ada solusi terbaik yang bisa diambil.

Spiritualitas sebagai Kekuatan

Dalam perjalanan panjangnya, Romo ini mengaku bahwa spiritualitas menjadi sumber kekuatan utama. “Saya selalu kembali pada ayat dari Injil Lukas, yang berbicara tentang misi Yesus untuk membebaskan orang-orang tertindas,” katanya. Ayat ini menjadi dasar dari segala keterlibatannya dalam gerakan kemanusiaan.

Namun, perjuangan ini tidak selalu mudah. Ia mengaku sering kali merasa stres dan tidak berdaya ketika dihadapkan pada begitu banyaknya kebutuhan yang tidak bisa ia penuhi. Kadang saya merasa tidak berdaya. Ingin membantu, tapi kemampuan terbatas. Dan sering kali saya terlalu hanyut dalam penderitaan mereka.” 

Pada saat itulah dia mulai belajar. Termasuk untuk membedakan antara empati dan simpati, serta berserah pada Tuhan untuk melengkapi usahanya.

Melihat Persamaan, Bukan Perbedaan

Salah satu prinsip yang selalu dipegang oleh Romo Yadi adalah melihat persamaan, bukan perbedaan. Dia menyadari bahwa hidup bermasyarakat penuh dengan keberagaman, entah agama, ras, suku dan budaya. Namun, hal itu tak seharusnya menjadi hambatan. “Kita semua memiliki spirit yang sama terkait isu kemanusiaan. Entah itu Kristen, Islam, atau agama lain, kita semua menjunjung tinggi martabat manusia,” tegasnya. Ia percaya bahwa dengan fokus pada nilai-nilai kemanusiaan, kita bisa melampaui sekat-sekat agama dan budaya.

Romo Yadi (paling kiri) bersama Bapak Kardinal Suharyo di Jakarta

Panggilan yang Tak Pernah Usai

Perjalanan Romo Yadi adalah bukti nyata bahwa panggilan untuk melayani sesama tidak pernah usai. Dari Gunung Kidul hingga ke pelosok dunia, ia telah membawa cahaya harapan bagi mereka yang terpinggirkan. “Kita bisa mulai dari hal-hal kecil di sekitar kita. Dari sana, kita bisa melangkah ke lingkup yang lebih luas,” pesannya.

Dalam setiap langkahnya, Romo juga mengajarkan kita bahwa kemanusiaan adalah bahasa universal yang mampu menyatukan kita semua, melampaui segala perbedaan. Dan dalam setiap tetes keringatnya, ia membuktikan bahwa perjuangan untuk keadilan dan perdamaian adalah hal yang tak pernah sia-sia.