Mengajar Bahasa, Belajar Kemanusiaan

12 Maret 2025|Mozza Dhiba Kirana

SAYA Mozza, saya adalah lulusan Pekerja Sosial yang ingin terjun di ranah kemanusiaan. Perjalanan kemanusiaan saya dimulai dari bangku kuliah, saat fokus ke dalam studi isu bencana alam dan bencana sosial. Lambat laun saya mulai melihat adanya kesenjangan pada isu pengungsi internasional yang cukup sulit untuk mendapatkan hak-hak dasarnya. Dari situ saya ingin mendalami dan mengisi bagian dari proses penemanan pengungsi. Pada akhirnya kesempatan itu datang melalui magang di JRS Indonesia.

Dalam proses penemanan yang dilakukan JRS kepada pengungsi, saya diberikan kesempatan untuk mengaplikasikan pembelajaran saya selama masa kuliah. Saya didampingi oleh staf JRS dalam melaksanakan asesmen dan intervensi kepada pengungsi. Dalam proses penemanan saya bersama dengan Case Officer JRS, sehari-hari saya melakukan kunjungan rumah (home visit) kepada pengungsi, mendengarkan kisah hidup dan keluh kesah, serta cerita bahagia yang masih tersimpan dalam ingatan mereka.

Pengalaman terbaik yang saya ambil adalah mengetahui tentang bagaimana metode penemanan ini dapat membuat hasil asesmen menjadi lebih in-depth, serta dapat membuat pengungsi merasa dihargai dan merasa menjadi manusia seutuhnya.

Mozza (tengah) bersama staf dan relawan di kantor JRS Bogor saat peringatan ulang tahun JRS.

Tidak hanya itu, saya mendapatkan wawasan baru tentang multikultural budaya, saya menjadi paham tentang perbedaan budaya dan cara berkomunikasi lintas budaya. Saya sangat salut dengan cara JRS yang mempelajari budaya pengungsi terlebih dahulu sebelum melakukan kunjungan rumah. Staf JRS juga sangat mengusahakan komunikasi berjalan dengan inklusif. 

Selain melakukan asesmen dan home visit, JRS mempercayai saya untuk membantu mengajar bahasa Indonesia kepada salah satu pengungsi, Bilqis (bukan nama sebenarnya). Bilqis adalah murid pertama saya. Awalnya saya memiliki keraguan dan ketidakpercayaan diri untuk mengajar, namun karena Bilqis memiliki semangat yang sangat besar untuk dapat menguasai bahasa Indonesia dasar, semangat itu menular kepada saya. Bilqis mempelajari tentang penggunaan bahasa Indonesia untuk membeli makanan, menaiki transportasi umum, menyewa rumah, dan membeli obat di Puskesmas.

Bilqis rutin mengikuti konseling di Yayasan Pulih. Saya sangat mengagumi Bilqis, di balik keceriaan dan semangatnya yang luar biasa, ia menyimpan luka mendalam akibat masa lalunya. Sebelum datang ke Indonesia, Bilqis adalah korban kekerasan fisik dan verbal di negaranya. Cacian, ejekan, dan ancaman pembunuhan kerap ia terima sehari-hari selama di negaranya. Malam-malamnya selalu ditemani dengan tangisan, insomnia, dan sering ketakutan, yang pada akhirnya membuat Bilqis mengalami depresi. Namun, kehadiran JRS mengubah hidupnya secara perlahan. Ia mulai kembali ceria dan membuka dirinya untuk berteman, menjalankan hobi memasaknya, serta menemukan hobi barunya yaitu merias wajah. Di sisi lain, saya sangat senang saat dia mengakui bahwa pembelajaran bahasa Indonesia dapat membuat dia menjadi lebih berani untuk bergaul di lingkungan tempat tinggalnya. Pengalaman ini tidak hanya membangun makna di antara kami, tapi juga menjadi pengingat betapa besar dampak dari hal-hal kecil dalam proses pemulihan seseorang.

 

Dalam perjalanan saya pada proses penemanan, saya menemukan bagaimana kuasa Tuhan bekerja. Dalam keadaan pengungsi yang tidak memiliki apa-apa, dan kekhawatiran apakah mereka esok masih bisa makan, Tuhan menjawab kekhawatiran tersebut, dengan memberikan bantuan melalui perantaraNya, Tuhan menakdirkan sebagian kecil manusia agar menjadi penyalur rezeki kepada mereka.

Dalam perjalanan ini, saya tidak hanya belajar tentang pentingnya penemanan dalam metode asesmen dan komunikasi lintas budaya, tetapi juga menyaksikan bagaimana kuasa Tuhan hadir melalui bantuan yang diberikan kepada para pengungsi. Pengalaman ini memberikan keyakinan yang kuat untuk saya untuk terus terlibat dalam pekerjaan kemanusiaan, memberikan pendampingan yang penuh empati, dan menjadikan setiap individu merasa dihargai sebagai manusia seutuhnya.