All I Want is LOVE and RESPECT
12 Maret 2025| Indriana Tamali Sianturi
DICINTAI dan dihargai, adalah sekian dari kebutuhan dan harapan yang bisa dimiliki seseorang untuk merasakan makna keberadaannya di dunia ini. Dicintai dan dihargai merupakan hal besar bagi salah satu teman pengungsi saya yang tengah berjuang meyakinkan orang-orang sekitarnya, bahwa persoalan kesehatan mental yang ia miliki tidak mengurangi makna dirinya sebagai manusia. Melalui tulisan ini saya ingin sedikit berbagi cerita tentang perjalanan teman pengungsi yang saya temui selama saya belajar bersama JRS.
Sister Zahra (bukan nama sebenarnya), merupakan pengungsi perempuan dari Eritrea yang datang ke Indonesia bersama adik-adiknya pada tahun 2018. Sebagai kakak tertua, keluarganya menaruh harapan agar ia menjaga keluarga kecil mereka selama mencari suaka di Indonesia. Namun, mengemban tanggung jawab tersebut di Indonesia ternyata tidaklah mudah. Seumur hidup Zahra tidak pernah berbahasa asing, selain bahasa Arab. Seumur hidup ia terbiasa menghabiskan waktu di dalam rumah, atau hanya berkeliling di sekitar rumah. Tidak pernah terbayangkan bahwa ia akan meninggalkan rumah tersebut, apalagi meninggalkan negaranya. Tidak terbayangkan bahwa tugas menjaga keluarga kecil ini menjadi tugas yang sangat besar bagi dirinya.
Mulai dari 2018 hingga 2024, hidup sebagai pencari suaka di Indonesia tidak semakin baik, justru semakin memburuk bagi Zahra. Perlahan tapi pasti, keluarga Zahra mulai kehabisan sumber daya finansial untuk menopang hidup mereka di sini. Sebagai pencari suaka mereka tidak dapat bekerja, sehingga Zahra sangat tergantung pada bantuan keluarganya yang masih di Eritrea. Sudah 7 tahun Zahra berpisah dengan keluarganya. Hal ini membuat Zahra merasa kesepian, dan semakin cemas akan ketidakpastian penempatan ke negara ketiga.
Mengapa mereka meninggalkan Eritrea?
Beban dan kecemasan semacam ini tertumpuk hingga akhirnya meledak seperti bom waktu bagi Zahra. Ia menjadi semakin tidak stabil secara psikologis, mulai mengekspresikan rasa frustasinya melalui teriakan, ketakutan, kesedihan, hingga kehilangan kepercayaan terhadap orang di sekitarnya. Zahra mulai mendengar berbagai macam suara yang menyudutkan atau menyalahkan dirinya, perasaan selalu diawasi orang asing, serta kehilangan konsentrasi dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Kondisi kesadaran dan ketakutan yang semakin parah ini membuat keluarganya mendorongnya untuk memeriksa kondisi kesehatannya. Zahra akhirnya mengunjungi salah satu psikiater di Bogor dan mendapatkan status sebagai penderita skizofrenia paranoid.
Skizofrenia paranoid merupakan gangguan kejiwaan yang bersifat psikosis. Dilansir dari artikel nhs.uk “psychosis is when people lose some contact with reality. This might involve seeing or hearing things that other people cannot see or hear (hallucinations) and believing things that are not actually true (delusions). It may also involve confused (disordered) thinking and speaking”. Skizofrenia paranoid merupakan tipe gangguan kejiwaan yang merujuk pada gangguan kognitif dan kondisi abnormal pada saraf otak. Gangguan kejiwaan ini sangat dipengaruhi oleh genetik, masa awal pertumbuhan dan kondisi lingkungan (Kurtz, 2015).
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh McCutcheon dkk., (2019) seseorang yang menderita skizofrenia memiliki angka harapan hidup 15 tahun lebih rendah daripada populasi umum yang tidak menderita skizofrenia. Temuan tersebut juga selaras dengan ulasan Kurtz (2015) yang dalam studinya menemukan bahwa penderita skizofrenia memiliki kecenderungan untuk mengakhiri hidupnya, dengan temuan setidaknya sekitar 50% penderita skizofrenia pernah melakukan percobaan bunuh diri, dan 10% berhasil melakukannya. Dalam kondisi semacam ini, Kurtz melihat bahwa kondisi skizofrenia menempatkan seseorang dalam posisi yang sangat tertekan dan sangat kewalahan mengatasi kondisi psikosis mereka, sehingga mereka sangat menderita.
Sekitar bulan Oktober 2023, menjadi pertemuan pertama saya dengan Zahra. Saat itu ia datang ke JRS Center dengan wajah yang kelelahan dan ketakutan. Ia mulai bercerita berbagai persoalan hidup yang ia miliki, dimulai dari isu kesehatan mental yang sangat mengganggunya, persoalan ekonomi, relasi keluarga, relasi romantis yang ia ingin miliki hingga beban sosial yang harus ia tanggung sebagai perempuan Arab yang belum menikah. Ketika saya meminta informasi lebih lanjut terkait isu kesehatan mental seperti apa yang ia alami, ia hanya menunjukkan surat rujukan rawat jalan ke psikiater dengan diagnosa skizofrenia paranoid.
Saya berkesempatan menghabiskan waktu sekitar 5 tahun untuk belajar ilmu psikologi di salah satu universitas di Yogyakarta. Waktu yang sangat sebentar dan tentu tidak cukup untuk berpuas diri dalam memahami kompleksitas manusia. Ketika melihat rujukan dan diagnosis tersebut, pertemuan dengan Zahra menjadi momen perdana saya melihat langsung individu yang berjuang dengan kondisi skizofrenia paranoid. Selama di bangku perkuliahan, isu semacam ini hanya dipelajari melalui buku, ataupun video studi kasus. Semasa kuliah saya belum berkesempatan untuk berkenalan dan bertemu langsung dengan orang yang berjuang dengan situasi ini.
Suara-suara jahat di kepalanya dan perasaan tidak aman menjadi hal buruk yang Zahra sangat ingin singkirkan. Hal-hal tersebut membuat ia tidak pernah tidur dengan tenang. Kondisi kesehatan ini juga membuatnya diusir oleh pemilik rumah dan ditolak oleh pemilik rumah lainnya, karena dianggap ia tidak sehat dan mengganggu kenyamanan warga sekitar. Ia perlahan-lahan mulai kehilangan kepercayaan orang sekitarnya, termasuk orang terdekatnya yaitu keluarga. Saat berbincang dengan keluarga, mereka merasa tidak bisa menaruh harapan atau mempercayai Zahra lagi untuk menjadi pengambil keputusan dalam keluarga, karena Zahra pun tidak bisa mengurus dirinya sendiri. Keluarga mengeluhkan berbagai macam hal yang dianggap tidak normal dari Zahra. Hal yang semakin membuat keluarga geram adalah Zahra yang tidak dalam kondisi sehat selalu menolak menjalani pengobatan. Berkali-kali Zahra mengatakan pada keluarganya bahwa ia tidak sakit. Keengganan mengkonsumsi obat antipsikotik yang sudah pernah diresepkan oleh psikiater sebelumnya berdampak meningkatkan kondisi psikotik Zahra.
Berdasarkan kondisi kesehatan Zahra dan persoalan lain yang ia miliki, JRS memutuskan untuk menemani Zahra selama 6 bulan. Saya berkesempatan menjadi case officer untuk kasus Zahra selama 4 bulan. Selama mendampingi kasus Zahra, saya tidak melihat pribadinya sebagaimana yang digambarkan oleh keluarganya. Selama masa pendampingan itu, kami bekerja sama menyusun dan mengimplementasi rancangan pemulihan. Bagi saya, Zahra merupakan teman yang menarik. Ia adalah perempuan hebat yang penuh dengan ambisi. Ia bercita-cita ingin mendirikan bisnis dan mengendarai motor. Dalam pandangan Zahra, saya sangat keren karena bisa dengan bebas mengendarai motor. Ia juga merupakan individu yang senang bercerita bila didengarkan, juga mau berusaha belajar jika diberi kesempatan dan kepercayaan. Saya akui bahwa pada awalnya tidak mudah berkomunikasi atau berdinamika dengan Zahra. Ia kesulitan untuk berkonsentrasi selama diskusi, selalu dipenuhi kecemasan dan kewaspadaan. Namun bagi saya, hal ini bukan karena perangainya yang buruk. Hal ini dikarenakan masa sulit yang sedang ia hadapi.
Setelah beberapa waktu berinteraksi dengan Zahra, dan kami merasa cukup dekat satu sama lain, saya bertanya mengapa dahulu ia menolak menjalani pengobatan, atau menolak mengonsumsi obat yang diresepkan oleh dokter. Zahra mengatakan “Tidak mudah untuk mengonsumsi obat itu dan mengakui bahwa kamu adalah orang yang sakit. Saya menerima amanah dari keluarga saya di Eritrea untuk menjaga adik-adik saya di sini. Dengan mengonsumsi obat itu, berarti saya mengakui bahwa saya sakit. Menjadi orang sakit membuat mereka kehilangan rasa hormat kepada saya. Mereka tidak memperlakukan saya sebagaimana seharusnya mereka memperlakukan kakak perempuan mereka. Sering kali, saya merasa jika saya sakit, mereka memperlakukan saya bukan seperti manusia, seolah-olah saya cacat. Mereka tidak mempercayai saya. Mereka tidak mengizinkan saya melakukan apapun untuk diri saya sendiri karena saya adalah orang yang sakit. Saya tidak bisa menerima itu.“
Bagi saya, apa yang Zahra sampaikan terkait alasannya menolak pengobatan merupakan refleksi yang sangat mendalam. Ungkapan tersebut juga terdengar seperti upaya meminta pertolongan, untuk tidak menyingkirkan ia dari dinamika sosial dalam keluarganya. Selama menerima bantuan JRS, Zahra sempat mendapatkan layanan rawat inap di RSJ Marzuki Mahdi Bogor untuk membantu penanganan skizofrenia paranoid yang sempat memasuki episode manik dan terkesan membahayakan keluarganya. Ia mendapatkan bantuan selama 2 minggu. Sepulang dari rumah sakit, saya mengunjungi Zahra dan ia terlihat sangat cerah serta bersemangat membagikan pengalaman menyenangkan yang ia terima di RSJ. Zahra bercerita bagaimana para perawat memperlakukan dia dengan sangat manusiawi. Ia sangat senang dan terharu sekali. Selama masa rawat inap, ia mendapatkan pelajaran make-up, senam bersama, menggambar, dan lain-lain.
Ia merasa setiap perawat benar-benar ingin mendukung pemulihannya dan tidak melihat dia seperti orang sakit. Ia sangat mengapresiasi apa yang mereka lakukan, meskipun Zahra tidak bisa fasih berbahasa Indonesia, dan para perawat juga tidak bisa berbahasa Inggris atau Arab. Cinta dan kasih dibahasakan melalui senyuman dan penemanan. Hal itu juga yang ia lihat di JRS. Ia merasa, jika lingkungan terdekatnya seperti para perawat dan JRS, ia akan semakin cepat pulih dan meraih mimpi-mimpinya.