Saat Penemanan Berbuah Persaudaraan

21 Desember 2014|Pieter Dolle, SJ

“No, full, Sir, thank you…” katanya dengan gerak tangan memegang perut ketika saya menawarinya makan siang. Tampilannya terlihat kusut namun segaris harapan ada pada senyumnya. Dua malam sebelum kami bertemu di Pasar Cisarua, Bahrul Fuadi sempat menghubungi saya dan menceritakan kondisinya. Mendengar suaranya membuat saya merasa lega dan tenang. Kelegaan saya beralasan, sebab beberapa waktu lalu, dia sempat mengalami depresi berat, hanya diam saat diajak bicara, dan linglung.

 

Siapa sangka seorang fotografer dengan keahlian mengoperasikan perangkat lunak Photoshop, mesti hidup terlunta di Cisarua, Bogor. Siapa sangka pula ayah dari tiga anak perempuan yang masih kecil dan bersekolah ini mengalami depresi karena kekurangan uang dan tidak bisa bekerja di Indonesia, sehingga bergantung kepada kemurahanhati seorang pemilik kios di Pasar yang memberinya tumpangan, makan dan minum. Tentu, sangat sulit membayangkan kehidupan yang berputar drastis seperti dialami oleh Fuadi, sehingga satu-satunya yang tertinggal adalah kenangan tentang keluarganya atau tentang aktivitas mengabadikan gambar pernikahan di Quetta, Pakistan. Kenyataannya sekarang adalah bertahan hidup di Indonesia sampai mendapatkan status refugee dari UNHCR. “In Pakistan, before, my life is good. But, now,…” urai Fuadi sembari menghela napas panjang.

 

Karena keluarganya tak lagi dapat mengirim uang kepadanya, ia berusaha mencari pekerjaan di Cisarua untuk memeroleh pendapatan. Hasilnya nihil, tidak ada satu tempat pun yang mau menerima dan memberinya pekerjaan. “I ask a photo studio but they have no work. I ask the photocopy shop, no work. I know Photoshop. I can operate a photocopy machine.” ungkap Fuadi. Sekarang, dia bekerja serabutan di salah satu kios di Pasar. Pemilik kios mengizinkannya untuk tidur di toko asalkan tidak mengajak teman-temannya. Fuadi juga mendapatkan makan-minum dari pemilik kios sebagai penghargaan atas kerjanya seharian. “Now, I am happy. I am occupied!” ungkap Fuadi dengan wajah cerah dan mata berbinar.

 

Perjumpaan dengan Bahrul Fuadi merupakan pengalaman persahabatan yang berharga bagi saya. Hadir sebagai sesama manusia dan menemani Pengungsi di Indonesia telah mengajari saya tentang arti persaudaraan melalui penemanan.

 

Saya merasa bahagia ketika Fuadi bisa menghubungi saya melalui telepon; bahkan ketika ia hanya mengeluhkan sesuatu dan memberitahu saya tentang susah tidurnya, itu merupakan sebuah tanda. Hadir bagi sesama dalam situasi terburuk mereka dapat membangkitkan empati dan kasih di dalam hati kita, dan menjadi saat untuk merenungkan nilai-nilai kemanusiaan. Pengalaman berbagi kisah, resah, tawa, dan canda bersama Fuadi kembali mengiang dalam benak. Melalui berbagi kenangan dan pengalaman itu kami menjadi saudara meskipun berbeda daerah asal, hubungan darah, agama, etnis, maupun pandangan politik. Penemanan, persaudaraan, berbagi kesedihan dan kegembiraan telah mengisi hidup kami, serta memungkinkan kami mengalami dan menjalani penemanan bersama para Pencari Suaka pada saat gelap maupun terang. Akhir kata, kisah tentang The Moment of Dawn atau Saat Fajar yang diadaptasi oleh Paulo Coelho mengajak Anda menengok pengalaman perjumpaan Anda dengan sesama, khususnya Pencari Suaka.

 

Seorang Rabi mengumpulkan murid-muridnya dan berkata kepada mereka: “Bagaimana kita tahu, kapan persisnya malam hari berakhir dan terang hari dimulai?” “Kalau sudah cukup terang untuk membedakan domba dari anjing,” sahut salah seorang murid. Murid lainnya berkata, “Tidak, kalau sudah cukup terang untuk membedakan pohon zaitun dari pohon kurma.” “Tidak, itu juga bukan definisi yang bagus.” “Nah, kalau begitu, apa jawaban yang benar?” tanya murid-murid tersebut. Dan Rabi itu berkata,“Kalau seorang asing menghampirimu dan kau menganggap dia saudaramu, dan semua perselisihan lenyap, saat itulah malam berakhir dan terang hari dimulai.”