Suatu Hari dalam Kehidupan Seorang Sukarelawan JRS

21 Desember 2018|Sarah Watt

Hari itu adalah Rabu atau hari Kamis, jam 10 pagi. Saya naik sepeda motor menuju ke selatan melewati kota Yogyakarta dan tiba di Wisma Pengungsi di Sewon. Saya melewati pintu gerbang, mengucapkan ‘selamat pagi’ kepada petugas keamanan, dan memarkir motor. Saya turun dan menuju ke ruang kelas. Ruangannya sempit, jadi mungkin kami seperti belajar di dapur hari ini. Bagaimanapun juga, pelajaran bahasa Inggris tetap akan berlangsung!

Mereka menyambut saya dengan jabat tangan yang ramah. Saya merasa sangat gembira menjadi bagian yang akrab dari para Pengungsi Sewon yang memanggil saya Sarah, Miss Sarah atau Miss Teacher. Bagaimanapun mereka memanggil saya, saya sangat yakin mereka bergembira berjumpa dengan saya, demikian pula sebaliknya. Lalu saya bertemu dengan para guru yang dengan setia mengajar bahasa Inggris bagi Pengungsi di sini dengan durasi waktu yang berbeda-beda, dan mereka juga senantiasa tersenyum ramah. Sambil siap sedia untuk ngobrol tentang beragam topik, dari soal hewan peliharaan masa kecil sampai soal sapi yang jatuh dari langit, saya duduk bersama para guru yang kelasnya akan saya ikuti pada pagi hari. Para Pengungsi yang mau belajar itu berdatangan sambil membawa map bahasa Inggris di tangan. Mereka siap untuk diajak melakukan apa saja pada dua jam ke depan.

Kadang-kadang kami bermain dengan bahasa Inggris, atau mengerjakan tes, atau kegiatan yang disepakati bersama. Ketika melakukan permainan, kami akan banyak tertawa. Ada banyak lelucon tentang kecurangan yang terjadi di antara kami. Tetapi pada akhirnya, kalau ada salah seorang yang belum mengerti, selalu ada yang akan memberikan penjelasan dan dukungan; entah itu para guru, saya sendiri, atau salah satu Pengungsi. Hidup menjadi lebih indah ketika kita menjalaninya bersama. Pada hari Rabu, biasanya ada Pengungsi dari Myanmar di kelas saya, jadi saya mencoba melatih kemampuan bahasa Myanmar saya yang sudah mulai pudar. Kadang-kadang beberapa kata Indonesia digunakan juga sebagai tambahan. Tetapi biasanya, kami menggunakan bahasa Inggris. Selama dua jam itu, saya banyak tertawa. Saya tertawa karena inilah waktunya kami berbagi lelucon. Saya tersenyum karena kemajuan bahasa Inggris mereka. Saya tersenyum sebab saya menyadari bahwa mereka menjadi lebih nyaman terhadap saya yang bergabung di kelas mereka, dan kami bisa berbagi keceriaan hidup bersama-sama.

Ketika kelas bahasa Inggris sudah selesai, kami biasa belajar bahasa Indonesia bersama-sama juga, karena, meskipun bahasa Inggris lebih dibutuhkan di masa depan, saat ini mereka sedang tinggal di Indonesia. Setelah kelas selesai, kami biasanya mengobrol bersama para guru dan Pengungsi yang lain. Kadang-kadang berberapa orang Pengungsi mengundang kami ke ruangannya untuk makan siang bersama-sama. Saya sangat senang untuk mencoba makanan baru dari negara lain, dan makanannya tidak pernah mengecewakan. Saya menambah makanan untuk kedua kalinya, ketiga kalinya, sampai saya tidak bisa makan lagi. Kami bercerita, kadang-kadang tentang negara asli mereka, kali lain tentang negara asli saya, Inggris. Kadang-kadang kami bercanda, tetapi kali lain saya terdiam ketika orang-orang yang sudah menjadi seperti saudara saya sendiri, bercerita tentang kisah hidupnya dan membuat kesulitan-kesulitan kecil yang saya hadapi menjadi tak ada artinya.

Setelah itu, saya kembali ke kehidupan nyaman saya sebagai mahasiswa asing di salah satu universitas terbaik di Indonesia. Melewati pintu gerbang, saya berpamitan kepada petugas keamanan, berjalan menyusuri sawah dan melalui jalanan kota Yogyakarta yang ramai. Namun, ketika tidak kelihatan sama sekali tidak berarti bahwa saya tidak memikirkan mereka. Sambil naik motor, saya berdoa untuk para Pengungsi di kelas saya, semoga mereka menemukan kedamaian di antara kesulitan mereka, semoga kebutuhan mereka terpenuhi, dan semoga mereka tidak kehilangan harapan di tengah proses yang panjang ini.